Mohon tunggu...
Helena Mutiara
Helena Mutiara Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang pembelajar teori komunikasi di Unika Soegijapranata

"Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan" -Pramoedya Ananta Toer- Communication Science SCU'20

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Konfrontasi Kepercayaan Publik di Balik Kebijakan Otoritas

4 Januari 2021   19:28 Diperbarui: 4 Januari 2021   20:57 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pandemi Covid-19 masih terus bergulir tanpa ada tanda-tanda penurunan angka kasus positif yang signifikan. Sementara itu masyarakat Indonesia mulai memasuki fase jenuh dengan peraturan-peraturan new normal yang tak kunjung menemui titik akhir. Selama masa pandemi ini pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan, yang tak jarang menimbulkan kritik dari masyarakat. Kebijakan pemerintah yang dirasa bertolak belakang dengan kebutuhan masyarakat kemudian menjadi landasan timbulnya krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan Indonesia. Pada awal masa pandemi tepatnya pada April 2020, masyarakat Indonesia mengaungkan tagar #Jokowisilakanmundur yang dalam hitungan jam sudah ramai menghiasi media sosial Twitter. Tagar tersebut digunakan sebagai bentuk protes dari masyarakat terhadap Presiden Jokowi yang dinilai lambat dalam manangani kasus Covid-19.

Tak berhenti disitu masyarakat kembali dibuat geram dengan berbagai peraturan baru yang disahkan oleh pemerintah. Kita tarik kembali memori kita pada pertengahan tahun 2020, pengesahan UU Cipta Kerja, penangkapan menteri yang terlibat kasus korupsi, serta pelaksanaan Pilkada di tengah masa pandemi Covid-19 dan ditutup dengan keputusan Presiden Jokowi untuk me-reshuffle kabinet kerjanya menjadi potret kacaunya negeri ini dikala menghadapi pandemi Covid-19. Rentetan peristiwa tersebut seperti membuka peluang bagi pihak oposisi untuk menjatuhkan kabinet Jokowi lebih mudah, hal tersebut juga didukung oleh krisis kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan negerinya sendiri.

Presiden Dari Rakyat Untuk Rakyat

Presiden Jokowi pada periode awal kepemimpinannya diberi apresiasi tinggi oleh masyarakat Indonesia karena dianggap sebagai presiden yang sangat merakyat. Gayanya yang sederhana dan senang melakukan blusukan untuk menemui masyarakat, menjadi daya tarik sendiri bagi masyarakat Indonesia. Presiden Jokowi kemudian memikul harapan besar dari masyarakat Indonesia, karena beliau dianggap sebagai sosok pemimpin yang selama ini diidam-idamkan untuk memimpin negeri ini. Berbekal penghargaan sebagai walikota terbaik ketiga oleh "World Mayor" pada 2012, Jokowi yang saat itu menjabat sebagai walikota Surakarta, kemudian maju sebagai Gubernur DKI Jakarta hingga akhirnya berhasil duduk di kursi RI 1. Presiden Jokowi semakin disorot oleh mayarakat Indonesia setelah potretnya berhasil menghiasi sampul majalah Times berjudul "A New Hope". Kemunculan beliau di Majalah Times seolah semakin menunjukan bahwa media sangat berperan besar untuk membangun citra seorak tokoh publik.

Melihat berbagai rekam jejak Presiden Jokowi dengan sejuta dukungan dari masyarakat Indonesia, timbul suatu pertanyaan mengapa di periode kedua kepemimpinannya, masyarakat justru mengalami krisis kepercayaan terhadap kepemimpinannya? Saya setuju, jika salah satu jawabannya adalah karena kebetulan saja pada saat periode kedua kepemimpinan beliau, bertepatan dengan adanya pandemi Covid-19. Di sisi lain, saya melihat budaya masyarakat Indonesia yang terlalu menaruh harapan tinggi terhadap seorang tokoh dan kemudian saat tokoh tersebut mulai tidak memenuhi ekpetasi masyrakat tokoh tersebut akan langsung diserang dan dipertanyakan kredibilitasnya.

Kepercayaan Mayarakat Semakin Longgar

Pengesahan UU Cipta Kerja menjadi awal krisis kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap pemerintah di masa pandemi Covid-19. Undang-undang yang oleh masyarakat terutama kaum buruh dinilai merugikan pihak buruh, serta menguntungkan golongan elite memantik amarah rakyat yang puncaknya terjadi demo buruh dan mahasiswa secara meluas di berbagai daerah di Indonesia. Tagar #Reformasidikorupsi dan #Mositidakpercaya kemudian mengaung ke media sosial Twitter sebagai bentuk kekecewaan dan protes masyarakat atas keputusan pemerintah. Masyarakat menyayangkan sikap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai Lembaga perwakilan rakyar mengesahkan sebuah peraturan Undang-undang bukannya justru berfokus menangani kasus Covid-19 di Indonesia yang belum ada tanda-tanda adanya penurunan kasus. Masyarakat menilai pemerintah tidak bisa menyusun skala prioritas ditengah situasi pandemi seperti ini.

Belum reda amarah masyarakat pada 27 Mei 2020, pemerintah mengumumkan bahwa pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 tetap dilaksanakan di masa pandemi seperti ini. Dikutip dari waspada.co.id, Sosiolog Universitas Sumatera Utara (USU), Prof. Badaruddin MSI menuturkan bahwa "Saya pikir, saat ini kita sedang mengalami multi-distrust, sehingga sebagian masyarakat itu beranggapan virus ini, ya biasa saja." Perihal distrust ini disebabkan karena tidak konsistennya pemerintah dalam mebuat kebijakan. Keputusan pemerintah yang tetap melaksanakan Pilkada Serentak disaat angka kasus Covid-19 semakin meningkat, membuat masyarakat merasa bahwa mereka bukanlah prioritas dan muncul krisis kepercayaan tersebut. Sanksi terhadap pelanggar peraturan protokol kesehatan eksistensinya juga hanya terdengar beberapa minggu setelah sanksi tersebut dikeluarkan. Semakin kesini rasanya semakin jarang terdengar adanya pemberian sanksi terhadap pelanggar protokol kesehatan, hal tersebut membuat masyarakat semakin acuh dengan keberadaan virus Covid-19 dan semakin mengecap bahwa pemerintah tidak tegas dalam menghadapi pandemi ini.

Kembalikan Kepercayaan Masyarakat!

Presiden Jokowi memutuskan untuk me-reshuffle kabinet kerjanya dengan menganti beberapa nama menteri. Hal tersebut menjadi suatu hal yang wajar mengingat saat negeri ini sedang berduka akibat pandemi, muncul dua buah nama menteri yang melakukan korupsi. Dalam reshuffle kabinet kerja yang dilakukan oleh Presiden Jokowi, nama Menteri Terawan menjadi salah satu nama yang ikut di-reshuffle. Hal tersebut merupakan salah satu upaya Presiden Jokowi untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat setelah banyaknya pertanyan mencuat ke publik, dimanakah Menteri Terawan selama masa pandemi ini? Najwa Shihab melalui Mata Najwa nekat melakukan wawancara terhadap kursi kosong yang semestinya diisi oleh Menteri Terawan, semakin menimbulkan pertanyaan publik. Menteri kesehatan yang semestinya berada di garda depan pada masa pandemi ini justru hilang dari hadapan publik. Dihadirkannya menteri kesehatan yang baru, menimbulkan harapan baru dari masyarakat dan perlahan-lahan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah mulai terbangun. Bagi Masyarakat Indonesia jangan terlalu memberi panggung seorang tokoh karena kemudian saat tokoh tersebut tidak lagi memenuhi ekspetasi kita maka dengan mudahnya kita akan menjatuhkan tokoh tersebut.

Helena Mutiara Utomo | Unika Soegijapranata

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun