Mohon tunggu...
Heddy Yusuf
Heddy Yusuf Mohon Tunggu... Jurnalis - Ingin jadi orang bijaksana, eh..jadinya malah Bijak sini - Bijak situ...
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Tulislah apa yang mau kau tulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Eyang Subur vs Mbah Google

24 April 2013   22:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:39 604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) 23/4 telah menjelaskan teka-teki heboh perseteruan Adi Bing Slamet vs Eyang Subur. Bahwa paham pengamalan dan keagamaan Eyang Subur telah menyimpang dari akidah dan syariah Islam, karena melakukan praktik perdukunan dan ramalan serta beristri lebih dari empat orang. Fatwa MUI tersebut dikeluarkan setelah Tim MUI melakukan investigasi, pengkajian dan klarifikasi terhadap paham dan pengamalan keagamaan Eyang Subur secara cermat, teliti dan hati-hati sejak 8-20 April 2013 lalu.

Adakah umat Islam yang ngamuk?, adakah mahasiswa Islam, atau ormas Islam meluruk membakar istana Eyang Subur? Menggembirakan jika umat Islam sekarang ini lebih dewasa dan kontrol emosi, tidak ada kekerasan dalam Islam, agama Islam adalah Rahmatan Lil’Alamin (Kasih sayang untuk semua orang) "Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (QS Al Anbiyaa' : 107). Bahkan MUI begitu santunnya Eyang Subur jika mau bertobat, MUI akan melakukan bimbingan dan mengarahkan pertobatan kembali ke jalan yang lurus. Yaitu jalan yang Allah ridhoi, seperti bunyi dalam surat Al Faatihah yang Eyang Subur belepotan membaca lafadz-Nya.

Marilah kita bandingkan dengan peristiwa 23 tahun yang lalu, Kasus tabloid Monitor yang menggemparkan itu, hingga dalam buku Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam oleh Jan S. Aritonang, (Halaman :  453) menulis :

Kasus ini bermula dari pengedaran dan hasil angket “Kagum 5 Juta” yang dilakukan oleh tabloid Monitor. Dalam artikel “Ini Dia 50 Tokoh Yang dikagumi Pembaca Kita” yang dimuat tabloid ini pada edisi 15 Oktober 1990 sebagai hasil olahan atas angket itu, nama Nabi Muhammad SAW berada di peringkat 11, persis di bawah Arswendo Atmowiloto (Pemred tabloid itu sekaligus penyusun angket dan penulis artikel yang menghebohkan itu) yang berada di peringkat 10, sementara itu peringkat pertama di duduki Soeharto; peringkat 2 sampai 9 diduduki oleh BJ. Habibie, Bung Karno, Iwan Fals, Zainuddin MZ, Try Soetrisno, Saddam Hussein, Siti Hardianti Rukmana (Mbak Tutut) dan Harmoko.

Umat Islam segera bereaksi keras; mereka menilai validitas angket itu patut diragukan dan pemberitaan atas hasilnya melukai hati umat Islam. Sehari sesudah pemuatan artikel itu, sekelompok mahasiswa dan pelajar mendatangi kantor Monitor untuk mengajukan protes. Sejak saat itu diberbagai penjuru tanah air bangkit protes senada, antara lain melalui pernyataan ormas-ormas Islam, tokoh-tokoh Islam (KH Hasan Bisri selaku ketua umum MUI, Nurcholis Majid, Jalaluddin Rachmat, Hasrul Azwar dari Fraksi PP DPRD Sumatera Utara, dll), ceramah dan khotbah di mesjid dan sebagainya. Majid menilai Arswendo dan Monitor  “sombong dan tidak mau tahu kepekaan orang lain, tidak peduli terhadap pembangunan karakter manusia, dan mengeksploitasi selera rendah”. Menurut Thaba reaksi keras umat Islam ini adalah wajar dan dapat dipahami, karena kecintaan mereka pada rasul-Nya.

Sementara itu tokoh Islam lainnya, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyatakan bahwa wibawa Nabi Muhammad tidak akan berkurang hanya karena kasus ini; karena itu kalau tidak setuju atas hasil angket dan isi Tabloid ini, cukup dengan tidak membelinya saja. Bahkan dalam kapasitasnya sebagai pemimpin “Forum Demokrasi” (Fordem), dikemudian hari kasus Monitor menunjukan adanya beberapa kelompok dalam masyarakat, termasuk mereka yang tergabung dalam ICMI, yang ingin memanipulasi isu-isu agama untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan mereka, mereka juga sengaja membesar-besarkan kasus ini.

Pemerintah sendiri menangani kasus ini dengan cepat. TVRI segera manayangkan permintaan maaf Arswendo. Departemen Penerangan memberikan peringatan keras kepada Monitor, disusul pembereidelan dan pembatalan SIUPP tabloid itu terhitung mulai 23 Oktober 1990, ditandatangani langsung oleh menteri penerangan Harmoko (biasanya pembatalan SIUPP cukup ditandatangani Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika). Karena Monitor dinilai telah menurunkan tulisan yang dapat mengganggu ketentraman umum dan menjurus kepada pertentangan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan). Pengurus PWI DKI Jakarta juga mencoret keanggotaan Arswendo di  PWI serta mencabut rekomendasi PWI kepadanya untuk menjabat sebagai Pemred tabloid itu. PT Gramedia juga memecatnya dari jabatan sebagai Wakil Direktur Kelompok Majalah dan Tabloid. Lalu sejak 25 Oktober 1990 Arswendo resmi menjadi tahanan Polda Metro Jaya, untuk selanjutnya diadili sejak awal 1991.

Pada forum pengadilan itu Arswendo kembali mengungkapkan permohonan maaf dan penyesalan atas kelalaiannya. “Saya sungguh-sungguh menyesali ketidak-pekaan dan kelalaian saya karena angket itu telah membuat masyarakat marah,” ungkapnya. Ia juga mengaku telah melanggar Undang-Undang Tentang Pers, Toh ia divonis hukuman 5 tahun penjara, dan mendekam di LP Cipinang Jakarta.

Saya adalah salah satu saksi sejarah perusakan gedung tabloid Monitor pada 1990 itu. Waktu itu usia saya 24 tahun. Singkatnya saya diterima menjadi karyawan PT Gramedia dan bekerja di tabloid Monitor yang kantornya bersebelahan dengan gedung Kompas Gramedia di Jl Palmerah Barat itu.

Karena belum menikah, bujangan dan suka tantangan, terutama untuk ngirit gaji. Saya tidak kost tapi makan tidur di kantor tabloid Monitor itu, banyak teman yang lain pun sama seperti saya. Ketika kantor tabloid Monitor dihancurkan massa, saya benar-benar berada di dalamnya. Jika serius bicara HAM, kamilah para karyawan yang merasa sangat dirugikan, takut, cemas, depresi berkepanjangan efek tak terduga dari mengalami kejadian trauma tersebut.

Hati-hati menerapkan kasus penistaan agama, apalagi jika dipolitisir kekuatan politik tak bertanggung jawab hingga menjadi amuk massa, kekerasan atas dasar agama sangat menakutkan. Syukur Alhamdulillah tidak ada tindak kekerasan main hakim sendiri dalam kasus Eyang Subur, tapi memang di zaman internet ini tidak perlu lagi pengerahan massa besar-besaran seperti orang primitif zaman saya dulu. Biarlah Eyang Subur vs Mbah Google tandingannya.

Ketik saja Eyang Subur di Mbah Google, terdapat ribuan berita, gosip dan komentar tentang Eyang Subur di dunia maya. Disaksikan jutaan pemirsa Eyang Subur nama paling populer keburukannya sekaligus paling ancur, tidak bermutuberitanya meski dilihat dalam sudut pandang jurnalistik modern kontemporer sekalipun. Dari mulai berita Eyang Subur lebih tua dari Nabi Adam (Iblis), Dajjal, ajaran sesat sampai kenakalan si Eyang melanggar batas  The Million Commandments, sejuta perintah Tuhan.

Mungkin saja sudah bukan lagi Adi Bing Slamet vs Eyang Subur atau Farhat Abbas vs Ramdan Alamsyah, tapi perang tanding ini milik Eyang Subur vs Mbah Google. Mungkin saja sudah sama-sama gilanya di zaman edan versi Ki Ronggo Warsito, “semua harus ikut edan, karena kalau tidak ikut edan tidak kebagian.”

Eyang Subur yang sakti sudah mati dibunuh Mbah Google yang lebih sakti lagi, bahkan mungkin saja MUI dan Menkominfo juga tak kuasa melawan kesaktian Mbah Google.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun