Permintaan Maaf Seorang (bukan) Intelektual
(Tulisan ke-3 Â Tentang Disertasi Milk al-Yamin)
=Hayyun ZSaVana=
Tulisan tentang disertasi Milk al-Yamin ini masih akan panjang. Ada banyak isu menarik untuk dibahas dalam disertasi itu.
Kesimpulan  utama disertasi itu. Tentang keabsahan perkawinan non marital. Berikut penggagas utamanya, Dr. Syahrur. Tentu menjadi hal paling menarik untuk menjadi sorotan utama.
Soal keprihatinan penulis berkenaan dengan nasib ironis kaum perempuan tervonis zina. Di negara-negara penerap hukum rajam, tak kalah pula menariknya. Penerapan rajam ini juga pernah terjadi di Aceh dan Ambon.
Belum lagi pernyataan penulis tentang tidak adanya defenisi eksplisit tentang zina. Di al-Qur'an maupun hadis. Termasuk perangkat analisis yang digunakan. Analisis hermeneutik anti sinonimitas kata itu. Semuanya akan menjadi pembahasan menarik. Mesti pula diketengahkan dalam tulisan-tulisan tersendiri.
Tapi penulisan untuk isu-isu itu, terpaksa sementara harus tertunda. Pasalnya saya sedang dikejar deadline. Untuk penyelesaian sebuah novel. Berjudul "Zilza". Berkisah tentang kelahiran seorang bayi perempuan. Di sebuah RS Bersalin. Berikut upaya penyelamatannya. Tepat di hari terjadinya bencana gempa, likuifaksi, dan tsunami. Pada 28 September 2018. Setahun lalu. Â Di Kota Palu. Memperingati 1 tahun bencana. Sekaligus sebagai kado ulang tahun pertama sang bayi, novel itu harus telah selesai sebelum tanggal 28 September 2019 ini.
Beberapa bagian novel itu, dapat disimak pada link berikut:
Kembali pada disertasi itu, tulisan ini belum lagi hendak membahas isinya. Pada  dua tulisan sebelumnya, hanya menyoroti tentang modus respon terhadap disertasi itu. Umumnya respon itu reaktif. Cenderung emosional. Semata mengedepankan prasangka dan subyektifitas.  Tanpa pula didasarkan pembacaan komprehensif. Apalagi analitik multi perspektif. Menggunakan nalar kritis dan akal sehat. Kesimpulan lalu diambil begitu terburu-buru. Bahkan tanpa terlebih dahulu membaca disertasi itu secara utuh.