Setiap kali hujan deras mengguyur, warga Samarinda selalu merasa cemas. Kekhawatiran mereka bukan sekadar soal basah kuyup, tetapi karena air bisa tiba-tiba meluap, menutup jalan, merendam rumah, bahkan menghentikan aktivitas sehari-hari. Bagi sebagian orang, banjir sudah seperti rutinitas yang mau tidak mau harus diterima. Padahal kenyataannya, persoalan ini terlalu serius untuk dianggap wajar.
Peristiwa pada 12 Mei 2025 menjadi bukti nyata. Hujan deras sejak dini hari dengan cepat mengubah genangan kecil menjadi banjir besar. Â Jalan utama lumpuh, warga panik menyelamatkan barang-barang, dan ratusan rumah terendam. Beberapa warga menceritakan bahwa air naik begitu cepat hingga mencapai lutut dan setinggi pinggang dalam beberapa jam, memaksa mereka membawa dokumen penting, perabot, bahkan hewan peliharaan. Banyak yang harus berjalan kaki melalui genangan untuk menuju posko pengungsian. Kejadian ini menegaskan bahwa banjir di Samarinda bukan sekadar masalah cuaca, tetapi juga terkait bagaimana tata kota dan infrastruktur diatur.
Secara geografis, Samarinda berada di dataran rendah dengan curah hujan tahunan tinggi, sekitar 2.500--3.000 mm. Hal ini membuat kota secara alami rawan banjir. Namun, faktor alam hanyalah sebagian kecil penyebab. Aktivitas manusia justru memperburuk kondisi. Alih fungsi lahan secara masif memangkas ruang terbuka hijau. Lahan resapan air banyak digantikan perumahan, pusat bisnis, dan area pertambangan. Air hujan yang seharusnya terserap tanah kini meluap ke jalanan dan pemukiman, sehingga genangan lebih cepat terbentuk.
Sistem drainase pun tidak mampu menampung curah hujan tinggi. Banyak saluran air dangkal, tersumbat sampah, dan menyempit karena sedimentasi. Sungai Mahakam dan anak-anak sungainya yang dulu mampu menampung debit besar kini tidak lagi cukup menahan volume air. Akibatnya, hujan deras sebentar saja bisa berubah menjadi banjir besar yang melumpuhkan aktivitas warga.
Dampak banjir sangat luas. Dari sisi ekonomi, kegiatan perdagangan, transportasi, dan jasa terhenti. Menurut pengamat ekonomi Universitas Mulawarman, kerugian bisa mencapai ratusan miliar rupiah per hari karena hampir semua sektor terdampak. Pedagang kecil menceritakan bagaimana dagangan mereka rusak, sementara transportasi ojek online dan angkutan umum terhenti, membuat warga kesulitan bepergian. Pasar tradisional, toko kelontong, bahkan beberapa warung makan harus tutup sementara, sehingga penghasilan harian warga ikut terhenti.
Dari sisi sosial, ribuan warga harus mengungsi. Pada awal 2025, hampir 3.000 jiwa dari 25 RT di Sempaja Timur, Gunung Lingai, dan Temindung Permai meninggalkan rumah sementara. Warga menceritakan betapa sulitnya mencari tempat aman, terutama bagi keluarga dengan anak kecil dan lansia, dan bagaimana mereka harus berbagi ruang di posko pengungsian. Banyak yang harus tidur di lantai, dengan fasilitas yang terbatas, sambil menunggu air surut.
Dampak kesehatan juga mengintai. Genangan air meningkatkan risiko penyakit kulit, diare, hingga demam berdarah. Anak-anak kesulitan bersekolah, transportasi publik terhenti, dan akses ke fasilitas kesehatan terganggu. Pedagang kaki lima, ojek online, dan UMKM lokal pun terdampak, memperparah kerugian ekonomi dan sosial. Bahkan beberapa warga harus menunda pekerjaan karena tidak bisa keluar rumah, sementara biaya tambahan untuk membeli makanan atau mengungsi menambah beban keluarga.
Meski kompleks, banjir di Samarinda bukan masalah tanpa solusi. Infrastruktur drainase perlu diperbaiki, diperlebar, dan diperdalam agar mampu menampung curah hujan ekstrem. Sungai Mahakam dan anak-anaknya harus dipulihkan melalui normalisasi, pengerukan, dan pengendalian pencemaran. Tata ruang kota wajib ditegakkan agar ruang terbuka hijau tetap tersedia sebagai area resapan air. Kesadaran masyarakat juga penting, karena sebagian besar sampah yang menutup selokan berasal dari perilaku warga. Jika kesadaran ini meningkat, dampaknya akan terasa signifikan.
Selain perbaikan fisik, sistem peringatan dini, edukasi masyarakat, dan program resapan air skala lingkungan perlu dijalankan. Pemerintah, warga, dan dunia usaha harus bersinergi, saling melengkapi, bukan hanya saling menyalahkan. Banjir seharusnya menjadi alarm untuk memperbaiki kondisi kota, bukan sekadar menunggu air surut.
Kini saatnya membangun komitmen nyata agar Samarinda bisa keluar dari siklus banjir tahunan dan menuju kota yang lebih aman, nyaman, dan layak huni. Dengan kerja sama semua pihak, masalah yang telah bertahun-tahun dianggap wajar ini dapat diatasi, dan kehidupan warga perlahan kembali normal.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI