Kendati puisi kerap menggunakan kata-kata hiperbola, eufisme, satire namun tidak melepaskan logika bahasanya. Penulisan simbul dalam kata, kendati sah-sah saja tapi harus dapat mewakili ruang imaginasi. Begitu pun dimensi ruang tidak bisa diabaikan begitu saja. Kurun waktu yang terlampau dalam sebuah puisi memberikan makna kata berlebih.
Mungkin yang tidak harus dilupkan ialah, bagaimana ruang-ruang puisi dalam kalimat berikutnya mampu menciptakan ruangan baru. Sehingga membangun image sebuah puisi lebih konsisten dan mencari muara yang paling hakiki dalam pengembaraan sebuah gagasan yang ingin disampaikan pada pembaca.
Sebagai contoh, saya kutipkan puisi Gus TF berjudul Susi: Sengal Perahu yang dipublish di SKU Kompas (3/10). genting tampukmu, gelantung rawan kami meragu./Gugurmu, Susi, "Pucat gemerincing dalam seratku."/anyir usiamu, geronggang musim yang tak kautahu./Benihmu, Susi, "Liar mendengking dalam sarafku."/puting jantanmu, timpangan laku kami menggancu./Sengalmu, Susi, "Kerongkong gatal tersedak debu."/ranum dagingmu, muara dan hulu di bandul waktu./Kekalmu, Susi, "Dayunglah dayung perahumu laju."
Puisi Gus TF, sangat sederhana. Diksi yang digunakan pun begitu sederhana. Namun pilihannya sangat tepat dalam membangun image. Diksi yang digunakan pun memberondong ruang-ruang tak terjamah, sehingga melahirkan image baru. Selain itu, membuka ruang dari setiap katanya untuk melahirkan tafsir-tafsir baru atas kata.***