Mohon tunggu...
HAFIDH MAULANA
HAFIDH MAULANA Mohon Tunggu... Human Resources - Pemerhati Masalah Kesehatan Masyarakat

Alumnus Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

PSBB dan Konspirasi Pandemi

12 Juni 2020   08:06 Diperbarui: 12 Juni 2020   08:07 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah memutuskan mengakhiri PSBB pada 8 Juni 2020 di wilayah Surabaya Raya. Hal tersebut diiringi dengan masih tingginya kasus COVID-19 di 3 (tiga) wilayah ini. Per tanggal 27 Mei 2020, lebih dari 70% kasus di Jawa Timur terjadi di Surabaya, Gresik dan Sidoarjo. Tingginya kasus tersebut ternyata tidak serta merta menggugah masyarakat sehingga masih jauh dari perilaku yang diharapkan.

Perilaku "bandel" tersebut merujuk pada hasil evaluasi mengenai kepatuhan masyarakat selama PSBB yang dilakukan oleh IKA Airlangga Komisariat Fakultas Kesehatan Masyarakat. Hasil yang telah dirilis pada tanggal 25 Mei 2020 yang lalu menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat belum disiplin menerapkan upaya pencegahan COVID-19 pada PSBB tahap II. Tingkat kepatuhan warga dalam memakai masker dan penerapan physical distancing dinilai masih rendah.  Rendahnya kepatuhan warga dalam menggunakan masker justru paling banyak terjadi di pasar. Hal ini berpotensi memicu ledakan kasus yang besar di kemudian hari.

Sikap abai masyarakat seolah menemukan pembenarannya ketika beberapa tokoh menggaungkan adanya skenario konspirasi dibalik pandemi ini. Larangan mudik, pembiasaan cuci tangan, anjuran memakai masker, physical distancing mudah diabaikan karena mendapat pijakan yang cocok sesuai selera. Penyangkalan ini hampir senada dengan fakta pemanasan global yang malah dinarasikan sebagai konspirasi. Kampanye kasus covid-19 sebagai konspirasi menjadi hal yang menyesatkan dan kontraproduktif dalam upaya penanganan COVID-19.

Joseph Parent, seorang profesor ilmu politik di Notre Deme University mengibaratkan teori konspirasi seperti obat emosional. Seseorang enggan menyalahkan diri sendiri atas hal yang mungkin merugikannya sehingga dia menyalahkan kekuatan yang tak terlihat. Di tengah kesulitan ekonomi, kejenuhan dan berbagai pembatasan, seseorang yang menganut teori konspirasi akan sangat mudah menuduh kekuatan tak terlihat sebagai dalang dibalik pandemi ini. Ratusan artikel ilmiah Clinical Microbiology tentang virus penyebab COVID-19 menjadi dikesampingkan.

Jauh sebelumnya, Vincent Cheng dan beberapa peneliti lain telah memprediksi kejadian pandemi akibat virus corona ini. Melalui artikel mereka yang berjudul "Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus as an Agent of Emerging and Reemerging Infection", peneliti tersebut menjelaskan bahwa terdapat 3 (tiga) alasan mengapa SARS-CoV akan menjadi bom waktu di masa yang akan datang setelah wabah tahun 2003. 

Alasan pertama karena corona virus mudah mengalami rekombinasi genetik (perubahan genom). Kedua karena adanya hewan reservoir atau hewan penampung virus seperti kelelawar. Ketiga masih adanya budaya memakan hewan mamalia eksotis di China. Apakah kajian ilmiah dengan ratusan referensi tersebut adalah bagian dari skenario konspirasi?  

Bergerak Melawan Konspirasi 

Upaya pemerintah dalam penanganan COVID-19 akan menjadi sia-sia jika masih banyak diantara warganya yang lebih percaya teori konspirasi. Profesor Chris French, psikolog dari Universitas Goldsmith, London pernah mengingatkan bahwa teori konspirasi dapat dipercaya siapapun dan juga menembus lapisan kelompok sosial manapun. 

Oleh karena itu pemerintah harus memastikan jajarannya dari pusat hingga ke tingkat RT/RW memiliki kesatuan pemahaman agar tidak kendor karena pengaruh teori konspirasi. Keberhasilan PSBB dan pendisplinan protokol kesehatan saat ini masih bertumpu pada kinerja para aparat pemerintah. Jika mereka pindah ke kubu penganut teori konspirasi, maka bisa dibayangkan bagaimana mereka melakukan edukasi kepada masyarakat.

Media massa harus ikut berpartisipasi dalam menepis kampanye teori konspirasi tersebut. Penetrasi penyampaian pesan pencegahan COVID-19 akan lebih efektif jika dilakukan sesuai segmentasi pelanggan mereka. "Perlawanan" terhadap opini konspirasi harus menjadi agenda media dalam beberapa bulan ke depan. Konsekuensi perlawanan tersebut tentu saja dengan tidak memberikan panggung bagi tokoh pengusungnya.

Perlawanan juga harus melibatkan para akademisi, praktisi dan organisasi profesi kesehatan. Para cendekiawan tersebut harus segera melakukan upaya sistematis untuk meng-counter opini tentang konspirasi yang sudah terlanjur berkembang di masyarakat. Kepakaran mereka sangat dinanti masyarakat untuk meluruskan simpang siur yang kontra produktif. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun