Salah satu kesalahan yang banyak dilakukan masyarakat di zaman ini adalah memendam emosi yang dirasakannya. Seringkali masyarakat menganggap bahwa kelompok individu tertentu tidak boleh menyalurkan emosinya. Kesalahan ini telah dianggap sebagai perilaku yang semestinya harus dilakukan. Contoh dari kesalahan tersebut adalah doktrin yang diberikan kepada anak laki-laki bahwa laki-laki harus kuat dan tidak boleh menangis.Â
Doktrin tersebut menyebabkan anak laki-laki tumbuh dengan keyakinan bahwa seorang laki-laki tidak boleh menangis. Keyakinan ini dapat menimbulkan pengaruh negatif yang dapat merugikan individu karena telah memendam emosinya. Dewi (2005) mengatakan bahwa kecenderungan individu memendam emosi (terutama emosi negatif) lalu melupakannya atau mengekspresikan namun dengan cara-cara yang tidak harmoni akan memunculkan sifat pasivity, depresi berkepanjangan, dan reaksi menarik diri dari lingkungan. Tentu saja hal ini akan mengahambat perkembangan hidup individu itu sendiri.
Menurut Daniel Goleman (2002) emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Daniel Goleman mengemukakan beberapa macam emosi, yaitu: amarah, kesedihan, rasa takut, kenikmatan, cinta, dan terkejut. Emosi adalah suatu reaksi tubuh menghadapi situasi tertentu.Â
Setiap orang memiliki emosi dan dapat merasakan emosinya karena dalam otak manusia terdapat sistem limbik. Sistem limbik sering dijuluki otak emosional karena terdiri dari hipotalamus, amigdala, talamus, girus cingulatus, hipokampus.Â
Emosi akan menjadi sangat bermanfaat bagi kehidupan individu terutama dalam hal bersosialisasi, dengan catatan individu tersebut dapat menyalurkan emosinya dengan baik dan benar. Oleh karena itu, sudah saatnya menghapus stigma masyarakat bahwa sekelompok indivdu tertentu tidak boleh menyalurkan emosi.