Mohon tunggu...
Rahmi H
Rahmi H Mohon Tunggu... Guru - Peskatarian

Ngajar | Baca | Nulis Kadang-Kadang Sekali

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Motayok, Upacara Adat dalam Cerita

28 April 2018   18:57 Diperbarui: 29 April 2018   21:23 2995
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Waktunya sungguh tak sempurna, kami tiba pada hari dimana upacara sedang tidak dilaksanakan, namun sambutan hangat dan cerita purba disuguhkan Nenek Sopina (bukan nama sebenarnya) dengan pancaran mata penuh kesungguhan.

Perjalanan ini memang semata kebetulan, ketika saya dan dua orang kawan hendak bertandang ke desa-desa pelosok Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, sekaligus menikmati tanah-tanah bekas perkebunan di jaman Belanda. 

Di sekitar rumahnya yang sangat sederhana matahari tertutup rimbun pepohonan, lebatnya hutan-hutan memberi sejuk di paru-paru kami yang setiap hari akrab dengan udara kota. Ia akan bersiap ke perkebunan ketika sebuah pesan tersampaikan melalui salah seorang keponakan yang sekaligus juga adalah kawan bagi kami. 

Kunjungan ini tak pernah direncanakan, namun ketiadaan alat komunikasi bagi Nenek Sopina, mengharuskan siapapun yang ingin bertemu dengannya wajib menyampaikan pesan secara lisan, agar ia berkenan menunggu. 

Rumah Nenek Sopina terletak di dataran tinggi wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, di sebuah kampung bernama Bilalang Empat, tepat berbatasan dengan sebuah desa yang sebagian besar penduduknya masih berpegang teguh pada tradisi adat dan kepercayaan kuno, ketimbang pada ajaran agama, meski terdapat gereja peninggalan Belanda yang berdiri kokoh di tengah kampung. 

Nenek Sopina merupakan salah satu orang tua yang masih melestarikan upacara adat Bolaang Mongondow yang disebut Motayok, bahkan upayanya ini mendapat kepedulian yang cukup dari pemerintah setempat, dengan dibangunnya sebuah rumah khusus sebagai sarana dilangsungkannya upacara tersebut.

Motayok berasal dari bahasa Mongondow yang berarti "membersihkan/mengobati". Persiapan dan pelaksanaan upacara Motayok yang terkesan ribet dan memakan waktu lama, membuat upacara ini mulai ditinggalkan sebagian besar masyarakat Bolaang Mongondow, bahkan kini Nenek Sopina dianggap sebagai satu-satunya orang yang mampu melangsungkan upacara ini hingga tuntas. 

Adapun tujuan dari diadakannya upacara Motayok adalah untuk menyembuhkan beragam penyakit yang hinggap di tubuh manusia melalui perantara roh-roh nenek moyang yang dalam bahasa Mongondow disebut Bogani.

Roh-roh tersebut dihadirkan dengan meminjam tubuh nenek Sopina sendiri. Asal mula upacara ini, konon berawal dari raja pertama Bolaang Mongondow yakni Punu' Mokodoludut yang jatuh sakit di usia yang belum genap lima tahun, saat itu para Bogani berkumpul dan menyembuhkan Punu' Mokodoludut dengan mengadakan upacara Motayok. 

Di teras rumahnya yang teduh, nenek Sopina membeberkan seperangkat peralatan yang harus dipersiapkan untuk kelengkapan upacara. 

"Beberapa sajian harus disiapkan oleh keluarga si sakit, diantaranya makanan, berupa beberapa ekor ayam yang dimasak bersama santan, nasi buluh (nasi ketan yang dimasak dengan cara dimasukkan ke bilah bambu, lalu dipanggang), nasi kuning, beberapa batang rokok, wajik, tuak dan lain-lain. Nah, sajian itu ditata rapi di atas nyiru, diberi hiasan-hiasan dari daun kelapa muda dan diletakkan di ruangan tempat upacara dilangsungkan" 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun