Mohon tunggu...
Rahmi H
Rahmi H Mohon Tunggu... Guru - Peskatarian

Ngajar | Baca | Nulis Kadang-Kadang Sekali

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membicarakan Hidup atau Mati

22 Juli 2017   14:44 Diperbarui: 23 Juli 2017   00:01 915
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Membangun kesadaran atas kekuasaan diri bisa dijadikan sebagai awal mula, bagaimana kita menghadapi hidup. Selama kesadaran itu ditujukan untuk membangun nilai-nilai positif dalam kehidupan. Apapun masalah yang dihadapi, selama kita tidak kehilangan kesadaran atas kendali diri kita, maka kita akan tetap bisa mengendalikan segala kekacauan yang ada. Karena itu, satu kesadaran yang juga penting untuk dibangun adalah kesadaran, bahwa hidup adalah sesuatu yang kompleks, kadang tak bisa diprediksi, kadang teramat mudah dijalani. Maka, dikekompleksan hidup itu tak pantas kiranya kita merindukan kematian, karena ia justru hanya akan menertawakan kita, yang sebetulnya kitalah yang harus menertawakan kematian. 

Namun, tak dapat dipungkiri godaan untuk menyelesaikan hidup, melekat begitu sempurna di benak beberapa orang. Kita tak perlu membicarakan banyak kasus bunuh diri. Coba tanyakan pada batin kita, sanggupkah kita mengkritisi kematian? Terutama pada cara kita merespon kematian apapun penyebabnya. Membantu orang menemukan hidupnya adalah hal yang paling mudah, tapi bersama-sama membicarakan kematian tentu tidak mudah, ada yang takut, sedih, gelisah bahkan tidak bisa berkata apa-apa ketika ditanya tentang kematian. 

Tanpa sebab yang jelas kematian menjadi serupa hantu atau monster yang wajib dihindari, padahal kematian itu ibarat "musuh" yang haus akan pertarungan, ketika kita sedang kehilangan kendali atas diri kita termasuk akal dan batin kita, maka ia datang mendekat menantang kita dengan cara yang halus dan lembut, seolah menawarkan ketenangan, padahal keinginan mati, dalam diri hanya semacam persepsi yang timbul dari tiadanya cara untuk tetap bersikap normal pada situasi pelik. Sama seperti seseorang yang mencoba membuat kita marah, jika kita meladeni maka disitulah letak kekalahan kita.

Kadang-kadang sesuatu yang tidak sanggup kita bicarakan dengan baik, justru akan menjadi titik kelemahan utama kita, begitupun dengan kematian. Bisa jadi, seseorang yang diliputi masalah sepanjang hidupnya lalu memilih mati sebagai akhir, tidak pernah menyediakan akal sehatnya untuk mengkritisi kematian, bisakah tekanan hidup diringankan dengan menelaah kematian? Tapi bukan menjadikan kematian sebagai jalan keluar. Ketika seseorang berpikiran untuk mengakhiri hidupnya, sanggupkah kita mengajaknya berpikir jernih bahwa sesungguhnya ia sedang menggunakan seluruh kekuatan hidupnya untuk menguasai apa yang bukan menjadi haknya. 

Kematian itu "milik" kita,  tapi bukan hak kita mendekatinya apalagi memintanya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun