Mohon tunggu...
Hastira Soekardi
Hastira Soekardi Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu pemerhati dunia anak-anak

Pengajar, Penulis, Blogger,Peduli denagn lingkungan hidup, Suka kerajinan tangan daur ulang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Bayi Itu Namira Namanya

10 Januari 2020   02:26 Diperbarui: 10 Januari 2020   02:27 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : indiaonpage.com

Banjir menyisakan lumpur. Aku mulai jenuh dengan banjir yang selalu mengepung rumahku. Setiap ganti gubernur selalu banyak janji palsu yang keluar dari bibir-bibir mereka. Yang terpenting janji dulu, realitanya sih entar, rakyat biar menunggu. Begitulah, setiap saat rakyat mau dibodohkan oleh orang-orang yang hanya mau duduki kursi jabatan tapi tak mau kerja.

Air banjir datang dan pergi setiap tahun menyisakan kerugian, kepedihan dan sakit jiwa. Kini aku masih terpekur di tempat pengungsian. Banjir kali ini banjir besar. Rumahku hancur, semua hilang tak berbekas. Entahlah setiap tahun kena banjir mungkin semua bagian rumah rapuk .

Hujan semalam begitu deras, seperti tumpahan air dari langit yang tak bisa berhenti. Malam itu aku bermimpi bertemu seseorang dengan pakaian serba hitan. Kulitnya kelam dan rambut panjang dengan uban yang sudah mulai menutupi rambut hitamnya. Pak tua itu menyapa kalau aku akan menemukan seorang bayi. Katanya bayi itu harus aku rawat dengan baik. Dalam bayang-bayang mimpiku bayi mungil yang cantik terekam jelas dalam memoriku.

Setelah itu hilang. Aku terbangun dan baru sadar kalau air sudah mulai masuk. Aku bangunkan suamiku dan mulai membawa dokumen berharga, beberapa baju dan mulai mengungsi ke tempat aman. Sungguh banyak yang mengungsi di sini. Ibu-ibu dan anak-anak. Mereka kedinginan di cuaca hujan yang terus turun.  Aku meringkuk di pojokan berusaha untuk tidur kembali tapi sulit sekali. Dan entah berapa menit aku tiba-tiba terbangun kembali saat sayup-sayup terdengar suara tangisan bayi.

"Kau dengar suara tangisan bayi?" tanyaku sambil mengguncang tubuh suamiku . Dia masih diam saja.

"Tuh, denger gak suara bayi menangis,"aku ulang kembali pertanyaanku. Suamiku menatapku dan tangisan bayi itu terdengar lagi. Aku dan suamiku berjalan ke arah suara bayi itu. Dan aku melihat onggokan kain batik yang tertutup. Dari sanalah suara bayi menangis itu.

"Itu mas,"seruku. Aku membuka bungkusan kain dan tampak bayi mungil , masih merah. Aku dekap agar bayi itu tak kedinginan dan aku bawa ke tempatku tadi.

Esoknya aku serahkan ke tim medis untuk diobati dan dicarikan orangtuanya. Tapi entah mengapa mata bayi itu seperti menatapku terus. Lucu sekali. Memang sudah hampir 10 tahun menikah aku memang belum mendapat keturunan. Bayi itu seperti magnet tersendiri. Sepanjang hari aku selalu memikirkan bayi itu.

"Bayi itu lucu ya, siapa ibunya yang berani buang bayi itu,"seruku. Suamiku hanya memelukku erat. Dia tahu aku ingin sekali memiliki anak. Siang itu aku sempatkan menggedong bayi yang dititipkan di tim medis. Sampai siang ini bayi itu belum ada yang mengambilnya. Ibunya entah dimana, apa dia tidak mencari bayinya. Saat banjir sudah mulai surut, aku kembali ke rumah. Dan malam itu aku bermimpi lagi ketemu kakek tua itu dan kakek tua itu tetap menyuruhku merawat bayi itu. Aku terbagun dan mimpi yang sama di setiap malam. Apa maksudnya?

Akhirnya rumahku sudah bersih kembali. Banyak perabot yang harus diganti, ada yang masih bisa dipertahankan. Pagi ini entah mengapa aku ingin sekali pergi ke tim medis banjir ingin melihat bayi itu. Bayinya sekaarng lebih gemuk dan terawat.

"Sudah ada yang mencarinya?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun