Mohon tunggu...
Hastira Soekardi
Hastira Soekardi Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu pemerhati dunia anak-anak

Pengajar, Penulis, Blogger,Peduli denagn lingkungan hidup, Suka kerajinan tangan daur ulang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Boom!

21 Juni 2019   02:29 Diperbarui: 21 Juni 2019   02:56 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : www.pixabay.com

Aku merasa tubuhku mulai hancur. Bom itu meledak bersama hancurnya tubuhku. Aku tersenyum puas. Mereka memang harus mati. Harus. Biar aku yang berkorban untuk keselamatan umat. Aku bangga bisa berjihad. Mati syahid itulah cita-cita diriku.  

Tubuhku mulai melayang-layang. Aku yakin aku akan menuju surga yang dijanjikan. Katanya Allah tak akan ingkar janji. Saat tubuhku melayang aku terhenyak karena aku melihat tubuh ayahku digotong ke ambulans. Wajahnya berlumuran darah.

 Aku mendekat . Benar itu ayahku. Mengapa ayah ikut jadi korban? Bukankah ayah tak ada di sekitar kafe, ayah bekerja cukup jauh dari kafe . Sedang apa ayah di sini. Aku mengikuti ambulans itu, dadaku mulai bergetar dan mulai menangis. Ayahku langsung dimasukan ruang operasi. Ibuku tiada henti menangis. Aku tercenung. Inikah jihadku. Ayahku sendiri jadi korban. Duka yang mendalam aku lihat dari wajah ibuku.

Tiba-tiba saja suara jeritan terdengar. Ibuku menangis keras karena ayah tak tertolong lagi. Ibu terlihat sedih sekali. Tumpuan  hidupnya hilang. Aku membayangkan ibuku harsu bekerja untuk menghidupi  tiga adikku. Ini semua salahku. Kenapa aku harus membom kafe itu. Jika tidak ayah tak meninggal. Tiba-tiba ada suara bisikan di telingaku.

"Tenang saja kau pasti masuk surga." Suara bisikan itu berulang-ulang kali terdengar di telinganya. Aku mulai berteriak keras.

"Diam kamu. Dia ayahku, kamu tahu? Bagaimana dengan ibuku?"

"Apa kamu juga berpikir sama dengan korban-korban yang lain? Banyak keluarga yang harus kehilangan orang yang disayanginya. Apa kamu peduli?" bisikan itu datang lagi.

"Peduli tidak? Banyak orang yang kehilangan keluarganya. Banyak orang yang harus cacat tubuhnya. Emang kau peduli? Coba lihat kalau tertimpa keluargamu sendiri? Kamu tak terima bukan? Aku terdiam. Semua rasa hilang . Penyesalan mulai menghantui diriku. Berapa banyak orang yang mati akibat diriku?

"Kamu pembunuh. Apa hukumnya orang membunuh?" suara bisikan itu muncul lagi. Bisikan itu mulai mendesak diriku. Aku mulai bimbang. Kini aku bingung. Aku hendak pergi kemana. Tubuhku akan dibawa kemana. Ke surga kata ustadku atau aku harus mempertanggungjawabkan dosa-dosaku terhadap orang-orang yang tak berdosa itu?  Aku mulai merasa bingung. Tubuhku melayang-layang terus. Entah kemana tujuanku.  Apakah arwahku akan diterima dimana? Aku mulai ragu dengan ceramah ustad itu. Benarkah aku akan masuk surga?

Sudah hampir seminggu aku hanya melayang-layang saja. Aku mulai takut. Aku takut . Tak ada satu pintupun yang terbuka bagiku. Semua pintu tertutup rapat. Aku mulai panik . Aku melihat pintu dan aku mulai menggedor-gedor , tapi tak ada yang membukakan. 

Aku mulai menghampiri semua pintu tapi tak ada satupun yang terbuka. Kini aku hanya roh yang melayang-layang tak punya tujuan. Semua lenyap. Harapan bertemu surga hilang. Mengapa aku harus percaya dengan kibulan ini? Kini yang ada hanya penyesalan

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun