Mohon tunggu...
Hastira Soekardi
Hastira Soekardi Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu pemerhati dunia anak-anak

Pengajar, Penulis, Blogger,Peduli denagn lingkungan hidup, Suka kerajinan tangan daur ulang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dunia Eri

17 Mei 2019   02:30 Diperbarui: 17 Mei 2019   02:30 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku maasih tercenung saat aku melihat Eri duduk bersama ibunya di taman. Baru dua kali aku bertemu dengannya. Aku rasa Eri penghuni baru di komplek perumahanku. Eri selalu duduk tenang di sisi ibunya. Tapi aku sedih melihat tatapan matanya. Matanya menatap kosong tak ada keceriaam anak-anak. Dia hanya diam, membisu di dekat ibunya. Saat aku sapapun dia hanya melihat diriku dengan pandangan takut. Aku mulai heran. Ibunya apa tak tahu dengan sikap anaknya.

"Ini, mau permen?" tanyaku sambil menyodorkan permen padanya. Ibunya yang mengambil permen di tanganku. Lalu diberikan ke telapak tangan Eri.

"Eri, umur berapa? Emang dia tak pernah bicara?" .

"Tujuh,"tukasnya tersenyum. Obrolan pagi itu membuka semua rahasia Eri. Ibunya bercerita kalau Eri dulunya anak yang lincah. Suka sekali berteman dengan siapa saja. Tapi entah setelah dia sekolah TK, ada beberapa temannya yang suka membully dirinya. Eri sering dikatai dengan anak haram, anak yang gak punya bapak. Ibunya tak tahu kalau Eri suka dibully sampai ada ibu teman anaknya yang kasihan denagn Eri melaporkan peristiwa itu. 

Dan ibunya minta tolong gurunya untuk melarang anak-anak itu membully Eri. Tapi apa mau dikata mereka tetap saja mengejek Eri tak habis-habisnya. Ibunya sudah berusaha memberi anaknya semangat, dorongan untuk tak menggubris omonga liar teman-temanya. Tapi rasa sakit dan luka di hati Eri tak bisa diobati denagn hanya kata-kata semangat. Eri jadi pendiam. Dia tak mau berbuat apa-apa. Hanya diam. Akhirnya Eri berhenti sekolah. Eri sudah tak tertarik bermain, dia menarik diri dari lingkungannya. Dia hanya diam, tanpa kata-kata. Hidupnya hanya bersama dinding-dinding kesunyian.

Kini Eri dan ibunyaa pindah rumah. Ibunya ingin mengganti susasana rumah dan lingkungannya. Tapi Eri tak pernah mau diajak bicara. Dunia Eri hanya diam dalam ketenangannya walau di luar begitu ramai. Entah apa yang membuat aku ingin mengenal Eri lebih dalam. Setiap hari aku selalu mengajak Eri bermain. 

Mengajarkan Eri menggambar, menulis. Entah sudah berapa bulan aku selalu menemani Eri. Dunianya masih sepi. Matanya masih nanar menatap ke depan. Hanya tangannya yang mulai bergerak menggambar apa saja di kertas yang aku berikan. Gambar anak yang sedang mengejek anak yang lain. Ada gambar anak yang sedih menangis. Semua gambar mencerminkan perasaan Eri.

"Anak ini jahatin kamu ya? Wah , gak boleh ini." Aku menunjuk gambarnya. Eri hanya menganggukan kepalanya. Sedikit demi sedikit aku mulai mengerti perasaannya. Eri terluka hatinya. Dari gambar-gambarnya menunjukan rasa hatinya.Sampai suatu saat Eri Menggambar dan tiba-tiba saja dia berteriak.

"Aku bukan anak haram, aku punya bapak tapi bapakku sudah meninggal," teriaknya. Aku terkejut dan merangkul Eri . Eri mulai menangis, aku biarkan dia menangis.

"Sudah nangisnya? Kamu anak yang baik ya." Aku selalu mensugesti kalau dia anak baik.

Kini Eri masih dalam dunianya tapi binar matanya sudah mulai bersinar. Eri sudah mulai mau melakukan aktivitas walau dia masih dalam diam. Aku akan selalu menunggunya untuk bicara lagi. Dunianya masih diselimuti luka. Kini sudah mulai terbuka. Aku masih bersamanya. Mendampinginya. Aku ingin melihat Eri tersenyum . Bermain seperti anak-anak yang lain. Mungkinkah? Aku akan selalu menunggunya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun