Mohon tunggu...
H.Asrul Hoesein
H.Asrul Hoesein Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang Sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Jakarta http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Founder PKPS di Indonesia | Founder Firma AH dan Partner | Jakarta | Pendiri Yayasan Kelola Sampah Indonesia - YAKSINDO | Surabaya. http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Solusi Sampah Indonesia Dalam Kehampaan Solusi

25 Februari 2020   02:50 Diperbarui: 26 Februari 2020   20:28 581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Penulis menemukan fakta pembohongan publik sapras olah sampah organik berupa komposter yang hampir terdapat di kabupaten dan kota seluruh Indonesia. Sumber: Dokpri.

Seperti yang sangat rawan adalah "dana kompensasi warga terdampak TPA" sampai sekarang dana-dana ini belum banyak menyentuh warga terdampak TPA, seperti biaya hidup, asuransi kesehatan atau kematian, biaya perbaikan lingkungan, air minum, perbaikan rumah atau biaya pindah rumah dari area TPA ke zona diluar TPA.

Semuanya hal itu menjadi makanan empuk oknum pemerintah bila UUPS tidak dijalankan sesuai amanatnya. UUPS tersebut sangatlah bagus, justru sesungguhnya tidak perlu direvisi. Walau ada inisiatif Senator DPD-RI untuk melakukan perbaikan. Dimana penulis juga telah diundang menjadi narasumber pada RDPU di Komite II DPD-RI di Senayan Jakarta (22/1)

Berarti itu alasan utama birokrasi menghindari UUPS ?

Ya benar, itu menjadi alasan utama birokrasi dan mitra sepermainannya agar jangan sampai UUPS dijalankan dengan jujur dan berkeadilan. Karena "permainan dana sampah" bisa dikatakan sudah tamat alias the end bila UUPS berjalan. Kantong penguasa dan pengusaha korup bisa kering dari dana sampah yang sangat banyak itu.

Memang sampah itu berbau menyengat, tapi duitnya lebih menyengat lagi dan sangat banyak peminatnya. Sampai susah menemukan orang-orang yang konsisten, jujur dan berani bicara apa adanya dalam urusan sampah. Semua mudah terpengaruh atau dipengaruhi bujuk rayu setan. Urusan sampah ini sangat mudah menarik manusia menjadi sampah. Aneh Tapi nyata.

Jadi kesimpulannya apa ?

Sikap oknum pemerintah pusat dan pemda dalam urusan sampah adalah seperti banci...... AC-DC. Itulah fakta yang terjadi. Secara dejure kelihatan mengikuti regulasi tapi secara depacto justru menolak solusi berbasis regulasi.

Maka orang-orang benar dalam dunia persampahan tidak memiliki ruang. Kalau hendak masuk dalam lingkaran oknum pemerintah dan pemda yang bersifat atau berkarakter pecundang, maka harus menjadi sampah manusia terlebih dahulu dan harus mampu mengikuti tradisi oknum yang menghalalkan segala cara.

Lalu birokrasi punya solusi apa ?

Solusi yang diinginkan pemerintah dan pemda tersebut yaitu solusi yang tidak bersolusi. Wow keren kan !!! Artinya cukup dukung saja oknum tersebut dalam "pembenaran" yang telah dan/atau akan dibuatnya sesuai ego sentris mereka yang ingin menyembunyikan sebuah masalah besar dalam bisnis plastic dan kertas.

Sementara keahlian atau kebenaran solusi dari masyarakat tidak dibutuhkan. Oknum-oknum tersebut lebih cerdas.....eh salah, oknum itu lebih picik dan licik dalam urusan sampah. Jadi mereka hanya butuh barisan orang-orang terpelajar tapi punya sifat pecundang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun