Kampung kami sedikit unik. Dĩ kampung kami ini mayoritas penduduk lelaki usia produktifnya pergi merantau ke kota untuk mencari nafkah. Ada yang menjadi pengusaha, bergelut di dunia politik, PNS, Paramedis, guru. Dan, ini paling banyak; menjadi pekerja bangunan. Meski banyak yang pergi merantau kampung ini selalu terlihat sibuk. Mobil omprengan (moda angkutan tidak resmi) selalu keluar masuk kampung mengangkut warga yang berangkat ke kota dan yang mudik ke kampung. Setiap hari panggung hiburan mudah ditemui berpindah dari halaman rumah warga yang satu ke halaman rumah warga yang lainnya. Setiap malam juga siang selalu saja terdengar alunan musik; dangdut, pop, tarling, degung jaipong dari panggung yang berpindah pindah. Arak arakan bujang sunat di atas tandu berhias kerap menjadi tontonan.
Kampung kami memang unik. ϑĩ kampung ini setiap hari ada hajatan. Itu lah mengapa para perantau harus mudik meski bukan lebaran. Itulah mengapa setiap hari panggung hiburan tak pernah berhenti. Arak arakan selalu menyusuri lorong kampung. Ada saja yang membuat warga merasa harus melaksanakan hajatan. Menikahkan anak, sunatan, gusaran. Dan, ini trend baru dan musiman, ratiban atau selamatan warga yang akan berangkat haji. Formatnya sedikit berbeda; nuansa ritualnya lebih terasa. Ada pengajian. Tamu undangan pun terlihat berpakain muslim. Tapi tetap saja hajatan.
Kampung kami memang sedikit unik.
Hajatan adalah pesta. Layaknya sebuah pesta, selalu ada kegembiraan dan keceriaan ϑĩ sana. Sayangnya ϑĩ kampung kami hajatan tidaklah selalu menimbulkan keceriaan. Seorang ibu sedang gusar menunggu kiriman uang dari suaminya yang sedang bekerja sebagai pekerja bangunan ϑĩ kota. Persediaan bihun warna biru dan kripik pisang "mak wen" sudah menipis, meski stok beras sisa panen terakhir masih ada. Sementara satu minggu ke depan ada beberapa tetangga yangakan hajatan, dan mesti didatangi. Adalah mustahil datang ke hajatan tanpa membawa beras dan "tumpangan" nya. Amplop tidak lazim dalam tradisi hajatan kami.
Kampung kami memang unik. ϑĩ kampung kami alangkah repotnya kondangan hajatan. Keluhan ibu ibu tentang banyaknya kondangan hajatan sangat lazim terdengar. Saya pernah bergurau; bahwa seharusnya status pekerjaan yg tertulis pada KTP warga kami diganti. Bukan bertani, pns atau profesi lainnya, tetapi.... kondangan.
Sesungguhnyalah hajatan ϑĩ kampung kami biasa biasa saja dari sisi pelaksanaannya. yang tidak biasa adalah intensitasnya. Tentu akan menyenangkan bila sebulan sekali dapat berkumpul bersilaturahim ϑĩ rumah kerabat yang sedang hajatan. Tapi, bagaimana bila kondangan hajatan itu seminggu sekali, atau tiga sampai empat kali seminggu. Bahkan pada waktu tertentu bisa mendatangi hajatan ke empat tempat dalam sehari. Bisa dibayangkan berapa biaya yang mesti dikeluarkan serta berapa banyak waktu yang harus diluangkan untuk kondangan hajatan. Bisa dibayangkan juga betapa repotnya 'Kuwu', Sekdes dan Pamong dalam membagi waktu dan dana untuk kondangan warganya.
Nyatalah kini bahwa sesungguhnya hajatan telah membawa masalah bagi kami. Pernah beberapa tahun lalu dibuatkan PerDes (Peraturan Desa) yang mengatur tentang hajatan. Sayangnya hanya efektif dalam beberapa waktu saja.
Uniknya lagi, meski ketika mendapatkan undangan kami mengeluh, tentu tidak ϑĩ depan pengirim undangan, tapi bila "giliran" kami berada pada kondisi “harus” melaksanakan hajatan, tak satu pun kami mampu menolaknya. Meski harus dengan berhutang, kami akan melaksanakan hajatan; mengundang sanak kerabat dan para tetangga untuk hadir. lupa bahwa baru kemaren kami mengeluh betapa repotnya mendatangi hajatan. Begitulah kampung kami, tiada hari tanpa hajatan.
Kampung kami memang unik. Secara geografis kampung kami berada di propinsi Jawa Tengah tapi bahasa sehari hari kami bahasa sunda; bahasa orang Jawa Barat.