Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Mau ke Mana Setelah Lulus SMK?

12 Desember 2016   14:35 Diperbarui: 12 Desember 2016   17:07 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Disaat media masa termasuk Kompas TV menymapaikan data,  bahwa lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)  paling besar jumlah penganggurnya, bila dibandingkan dengan lulusan SMA, yaitu lebih dari 2 (dua) juta orang. Hal ini sangat mengejutkan banyak orang terutama para pemerhati dan pelaku pendidikan, hal ini dikarenakan SMK diharapkan mampu mengisi angkatan kerja tingkat menengah yang jumlah nya setiap tahun terus membengkak, bukan itu saja tetapi juga untuk mengatasi pengangguran yang semaikin besar jumlahnya. Karena itulah pemerintah melalui kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberikan perhatian yang besar terhadap SMK, termasuk mengalokasikan dana yang melebihi dari SMA, begitu juga dari segi kuantitasnya, jumlah SMK saat ini tidak jauh berbeda dengan jumlah SMA.

Akan tetapi kenapa harapan yang begitu besar terhadap SMK, justru  hasilnya mengecewakan kita, dengan data yang menunjukan luluasannya  justru paling banyak yang menganggur, tentu ada sesuatu yang segera harus diperbaiki, tidak bisa dibiarkan berlarut-larut seperti ini, untuk itu penulis ingin menyampaikan beberapa masukan, semoga ada manfaat dan kegunaannya.

Pertama. Meningkatkan kualitas sumber daya yang ada di SMK, terutama guru dan kepala sekolah, sejak pemberlakuan UU no 22 tahun 2003 tentang Otonomi Daerah, pengelolaan dan pembinaan SMK diserahkan ke kabupaten/kota dan sekarang dialihkan ke propinsi, peningkatan kualitas guru melalui trining (pelatihan) sangat minim, karena dana pendidikan yang ada di kabupaten/kota  tidak dalokasikan kepada peningkatan mutu guru, sehingga ada yang sudah 5 sampai 10 tahun mengajar, belum pernah mengikuti pelatihan sesuai jurusan atau bidang keahliannya. Hal ini bisa dibayangkan bahwa materi yang disampaikan kepada anak didik masih yang lama atau sudah ketinggalan jauh, sedangkan teknologi begitu cepat berkembang, bagaimana Dunia Industri (Dudi) dapat menerima anak didik SMK yang sudah tamat.

Demikian juga dengan kepala sekolah selaku Maneger atau pimpinan tertinggi di SMK, seharusnya menjadi kepala sekolah, terlebih dahulu memiliki pengalaman Wakil Kepala Sekolah atau sekurang-kurangnya kepala Jurusan, juga sudah melalui test atau ujian beberapa tahap, hal ini sudah dilakukan pada waktu sebelum oonomi daerah, namun sekarang ini hampir semua daerah  tidak lagi mau mengacu kepada ketentuan ini, karena dianggap produk pemerintah pusat. 

Timbul pertanyaan kita apa yang menjadi dasar atau kriteria sesorang layak diangkat menjadi kepala sekolah, bukan kemampuan tapi sudah lebih banyak hal-hal yang bersifat politis, apabila seseorang dekat dengan penguasa daerah, mungkin kedekatan karena kekeluargaan atau karena berjasa mengantarkan atau memenangkan pemilihan alias Tim sukses, bisa saja menjadi kepala sekolah, sekalipun belem memenuhi persyaratan, bahkan ada di beberapa daerah kepala SMK yang diangkat berasal dari guru SMP dan SMA, sudah barang tentu hasilnya akan tidak maksimal, karena mengelola SMP atau SMA, sangat berbeda dengan SMK.

Kedua. Fasilitas yang tidak memadai, memang diakui fasilitas SMK sangat mahal sekali, terutama untuk jurusan atau bidang keahlian  Teknologi, sangat menghawatirkan kondisi peralatan SMK di beberapa daerah, pada hal  kunggulan SMK itu salah satunya adalah pada peralatan praktek, kita ketahui kemajuan teknologi sangat cepat berlembang, demikian juga hal nya peralatan di dunia Industri, akibatnya banyak lulusan SMK bingung bila masuk ke dunia kerja di Industri, karena pelatan sudah pada maju, sedangkan yang di sekolah masih yang lama saja, akibatnya dunia industri keberatan untuk menerima tamatan SMK, sebab  diharapkan setiap lulusan SMK sudah memiliki kompetensi .Untuk itu diharapkan  pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Penddidkan, jangan mudah untuk membangun sebuah SMK, tanpa dilengkapi dengan peralatan yang terbaru, dikhawatirkan setelah operasional tidak memiliki peralatan  yang memadai, akibatnya muncul lagi celotehan masyarakat yaitu dengan nama SMK Sastra. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun