Mohon tunggu...
Muhammad Hasyim
Muhammad Hasyim Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Reading, writing, blogging

Suka kopi, buku sama bola

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Perlukah Mendirikan Negara Islam di Indonesia?

10 Desember 2013   08:44 Diperbarui: 31 Januari 2021   11:15 1623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13866398451326136815

 Di masa sekarang ini begitu banyak kelompok, golongan atau firqah yang memiliki visi dan misi untuk mendirikan suatu negara islam, sebuah sistem pemerintahan yang secara kaffah menerapkan syariat islam di dalamnya. Ada yang bercorak kelompok garis keras yang bersifat militan dan menghalalkan segala cara, ada juga yang mencoba menyusup ke dalam kelompok elit politik dan memasukkan doktrin-doktrin mereka di sana, serta ada juga yang melakukan gerakan underground dan menunggu sampai kekuatan mereka dirasa kuat untuk melakukan kudeta secara terang-terangan. Adakah di Indonesia gerakan-gerakan seperti itu? Wallahu a’lam, Tuhanlah yang lebih tahu.

 Di dalam tulisan ini saya tidak ingin membahas perihal kelompok-kelompok seperti itu, karena saya tidak ingin menyinggung sentimen keagamaan mereka. Saya hanya akan membahas permasalahan ini dari segi sejarah dan siirat Nabi Muhammad saw, sang pembawa syariat sejati islam.

 Sungguh sangat mengeherankan jika ada seorang akademisi yang memiliki, mendukung, atau bahkan menggagas wacana pendirian negara islam, karena sang pendiri islam sendiri, yakni Muhammad saw, tidak pernah melakukan itu. Ini semua terjadi karena kurangnya penelaahan terhadap sejarah islam di masa-masa awal yang merupakan gambaran utuh kemurnian islam.

Perjanjian Damai Muhammad saw dengan Kaum Yahudi

 Kita baca di dalam sejarah, bagaimana Rasulullah saw masuk ke suatu lingkungan baru (baca: Madinah) dan berusaha untuk menciptakan suasana toleransi yang baik, dan hal-hal apa yang beliau saw kehendaki untuk mewujudkan keamanan di lingkungan masyarakat tersebut, sehingga dalam masyarakat itu keamanan dan martabat kemanusiaan pun dapat ditegakkan. Sesampainya di Madinah, beliau saw mengadakan perjanjian dengan orang-orang Yahudi, beberapa persyaratannya adalah sebagai berikut:

1. Orang-orang Islam tinggal bersama-sama dengan orang-orang Yahudi dengan rasa simpati dan ketulusan, dan hendaknya jangan berlaku zalim dan aniaya terhadap satu sama lain. (Meskipun orang-orang Yahudi selalu melanggar persyaratan ini, namun beliau saw senantiasa berbuat ihsan (kebaikan lebih), sehingga ketika orang-orang Yahudi itu melampaui batas, barulah beliau saw secara terpaksa melakukan tindakan yang keras terhadap mereka.)

2. Persyaratan kedua adalah bahwa setiap kaum hendaknya mendapatkan kebebasan beragama. (Meskipun kaum muslimin adalah mayoritas, namun mereka – yakni orang-orang Yahudi dan non muslim lainnya – bebas dalam agama mereka)

3. Persyaratan yang ketiga adalah, seluruh jiwa dan harta para penduduk harus terjaga dan dihormati, kecuali seseorang yang berbuat suatu kezaliman atau melakukan tindakan kriminalitas. (Dalam hal ini pun beliau saw tidak membeda-bedakan. Seseorang yang melakukan suatu tindak kejahatan, baik itu muslim maupun non muslim, bagaimana pun dia harus dihukum. Selain itu, untuk menjaganya adalah merupakan tanggung jawab bersama dan juga tugas dari pemerintah)

4. Selanjutnya adalah, segala macam sengketa dan perselisihan hendaknya dibawa ke hadapan Rasulullah saw untuk diputuskan dan setiap keputusan akan diambil berdasarkan pada perintah ilahi. (Dan maksud dari “perintah ilahi” itu adalah, sesuai dengan syariat masing-masing yang dimiliki oleh setiap kaum. Bagaimana pun, pengambilan keputusan akan dihadapkan pada Hadhrat Rasulullah saw, karena pada saat itu beliau saw adalah pemegang kekuasaan tertinggi, oleh karena itulah beliau saw lah yang akan mengambil keputusan. Akan tetapi keputusan akan diambil berdasarkan syari’at kaum yang bersangkutan. Dan ketika sebagian keputusan terhadap orang-orang Yahudi diambil berdasarkan syari’at mereka, lalu atas hal itu pun umat Kristen dan lainnya mengajukan keberatan, bahwa orang-orang yahudi telah berbuat aniaya dalam pengambilan keputusan tersebut. Padahal sesuai dengan permintaan mereka, keputusan itu diambil berdasarkan syariat mereka. Yakni syari’at kaum Yahudi dan Kristen pada dasarya sama, yakni taurat)

5. Kemudian ada satu syarat lagi yaitu, “jangan ada suatu golongan yang keluar untuk berperang tanpa izin dari Rasulullah saw.” (oleh karena itu, mereka yang tinggal di bawah suatu pemerintahan, maka mereka wajib untuk mentaati pemerintahan tempat mereka bernaung tersebut. Persyaratan ini hendaknya menjadi petunjuk bagi gerakan-gerakan jihad di masa sekarang ini, bahwa tanpa mendapatkan izin dari pemerintahan yang di bawahnya mereka tinggal, mereka tidak bisa melakukan suatu bentuk gerakan jihad. Kecuali apabila bergabung dalam tentara pemerintah dan jika negara atau pemerintahan itu berperang, maka hal ini baru dibenarkan)

6. Kemudian ada satu syarat dimana, “jika ada suatu kaum yang berperang melawan orang-orang Yahudi dan kaum muslimin, maka mereka akan bangkit bersama-sama untuk saling membantu satu sama lain.” (Yakni jika salah satu dari antara keduanya ada yang berperang dengan suatu kaum, maka yang satunya lagi akan menolong dan membantunya. Dan jika tercapai perdamaian dengan musuh, dan dari perdamaian itu baik kaum muslimin dan orang-orang Yahudi mendapatkan faedah dan manfaat, maka keduanya akan mendapatkan bagiannya masing-masing.) Demikian juga, jika ada yang menyerang Madinah, maka semuanya akan bersatu padu menghadapinya.

7. Syarat yang lainnya adalah, “Quraisy Mekah dan para sekutunya tidak boleh mendapatkan bantuan dan perlindungan dalam bentuk apa pun dari orang-orang Yahudi. “ (Karena para penentang dari Mekah telah mengusir kaum muslimin dari sana, dan sekarang kaum muslimin datang ke Madinah untuk meminta perlindungan, maka sekarang penduduk yang tinggal dalam pemerintahan tersebut tidak dapat membuat suatu jenis perjanjian apa pun dengan kaum musuh, tidak pula memohon perlindungan.)

Selanjutnya “Semua kaum akan menanggung biaya hidupnya masing-masing.”

 

Dari segi perjanjian ini, tidak ada seorang pun pelaku tindak kriminal, atau seseorang yang berbuat aniaya dan keonaran akan selamat atau terbebas dari hukuman. Dia akan dikenakan hukuman atau dituntut balas. (Yakni, seperti yang disebutkan sebelumnya, bahwa seseorang yang berbuat aniaya, melakukan suatu pelanggaran, berbuat kesalahan, maka bagaimana pun dia akan ditangkap dan mendapatkan hukuman. Dan hal ini tidak akan membeda-bedakan apakah dia itu seorang muslim atau Yahudi, atau yang lainnya.) 

(Dikutip dari: Siirat Khaatam al-Nabiyyiin, karya Hadhrat Mirza Basyir Ahmad ra. Hal.279)

Kebebasan Beragama dan Perjanjian Damai dengan Penduduk Najran

Kemudian untuk menegakkan toleransi dan kebebasan beragama itu beliau saw mengizinkan para utusan dari Najran untuk beribadah di Mesjid Nabawi, dan mereka melaksanakan ibadah mereka dengan menghadap ke arah timur. Sedangkan para sahabat beranggapan bahwa hal ini tidak boleh dilakukan. Atas hal tersebut Rasulullah saw bersabda bahwa tidak ada bedanya, yakni tidak ada masalah berkenaan dengan hal tersebut.

Kemudian diriwayatkan pula bahwa beliau saw melaksanakan perjanjian damai dengan para penduduk Najran. Di dalamnya beliau saw menerima tanggung jawab untuk menjaga batas-batas wilayah kaum Kristen Najran dengan bala tentara kaum muslimin. Gereja mereka, tempat-tempat peribadatan mereka, tempat-tempat penginapan, baik itu yang terletak di wilayah-wilayah yang jauh maupun yang ada di kota-kota, di pegunungan maupun di hutan-hutan, adalah kewajiban kaum muslimin untuk menjaganya. Mereka bebas untuk beribadah sesuai dengan agamanya masing-masing dan untuk menjaga kebebasan mereka dalam beribadah pun merupakan kewajiban kaum muslimin. Beliau saw bersabda, “Dikarenakan mereka sekarang adalah rakyat dari pemerintahan muslim, oleh karena itu dalam hal ini untuk menjaga mereka pun merupakan kewajibanku, karena sekarang mereka telah menjadi rakyatku.”

Selanjutnya kaum muslimin pun tidak memaksa mereka untuk bergabung dengan pasukan perang kaum muslimin tanpa sekehendak hati mereka sendiri. Para padri dan pemuka-pemuka agama mereka tidak diberhentikan dari posisi dan kedudukan mereka, mereka tetap melaksanakan aktifitas keagamaan mereka sebagaimana biasa. Tidak akan ada campur tangan terhadap tempat-tempat ibadah mereka. Tempat-tempat ibadah itu tidak akan digunakan diluar dari fungsi asalnya, tidaklah diubah menjadi tempat penginapan, tidak pula diambil alih oleh seseorang, atau digunakan untuk tujuan-tujuan lainnya tanpa izin dari mereka. Ulama-ulama atau rahib-rahib mereka di mana pun mereka berada tidak akan dikenakan jizyah atau pajak. Jika seorang muslim mempunyai istri seorang Kristen, maka ia mendapatkan kebebasan penuh untuk beribadah menurut kepercayaannya itu. Jika ada seseorang yang ingin pergi untuk menanyakan suatu perkara kepada ulama-ulama mereka, maka tidak ada larangan. Untuk memperbaiki gereja-gereja dan bangunan-bangunan lainnya milik mereka, Rasulullah saw memerintahkan bahwa jika mereka meminta bantuan berupa dana maupun tenaga dari kaum muslimin, maka kaum muslimin harus menolong mereka, karena ini merupakan suatu hal yang baik dan ini bukanlah termasuk jenis piutang, bukan pula termasuk sikap ihsan, bahkan ini merupakan suatu bentuk upaya agar tali perjanjian itu terjalin lebih baik lagi, sehingga dengan cara demikian dapat terwujud ikatan sosial kemasyarakatan dan sikap saling tolong menolong antara satu sama lain. 

(Dikutip dari: Zaad al-Mu’aad fi Hadyi Khair al-‘Ibaad, Fashlu fii Quduumi wa Wafdi Najran)

 

Inilah standar yang dipegang beliau saw dalam menegakkan kebebasan dan toleransi beragama. Dengan demikian, menuduh beliau telah berbuat aniaya dan menyebarluaskan islam dengan pedang merupakan suatu kezaliman yang besar.

Berkaitan dengan hal ini pendiri Jamaah Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad dalam bukunya Casymah-e-Ma'rifat menulis sebagai berikut:

“Walhasil, ketika perilaku dan cara hidup para ahli kitab dan kaum musyrikin arab telah sangat rusak, mereka menganggap keburukan-keburukan yang mereka lakukan sebagai suatu kebaikan, mereka tidak pernah jera dari melakukan perbuatan-perbuatan dosa, serta melanggar perjanjian-perjanjian damai, maka Allah ta’ala memberikan tampuk pemerintahan kepada nabi-Nya, dan melalui tangan utusan-Nya itu Dia ingin menyelamatkan orang-orang yang tidak berdaya. Dan dikarenakan negeri Arab merupakan suatu negeri yang bebas dan tidak berada di bawah pemerintahan seorang raja, oleh karena itu setiap kelompok dan golongan melewati kehidupan mereka dengan begitu bebas dan berani.” (Tidak ada peraturan dan perundangan, karena mereka tidak di bawah pemerintahan mana pun) “Dan dikarenakan tidak adanya hukum yang berlaku, dari hari ke hari mereka semakin meningkat dalam hal perbuatan-perbuatan dosa. Maka Allah swt menurunkan kasih sayangnya kepada negeri ini. Dia tidak hanya mengutus Rasulullah saw sebagai rasul ke negeri ini, bahkan juga menjadikan beliau saw sebagai raja dari negeri tersebut. Dia telah menyempurnakan al-Quran Karim selayaknya sebuah peraturan dan perundangan, yang di dalamnya terdapat petunjuk-petunjuk berkenaan dengan urusan-urusan administrasi, militer, ekonomi dan lainnya. Jadi, dengan kedudukan beliau saw sebagai seorang raja, maka beliau saw menjadi hakim bagi semua kelompok dan golongan yang ada di sana, dan para penganut dari setiap agama mengajukan perkara-perkara mereka ke hadapan beliau saw untuk diambil keputusan.

Terbukti di dalam al-Quran Syarif, bahwa suatu kali seorang muslim dan seorang yahudi mengajukan perkara mereka ke pengadilan beliau saw. setelah beliau saw melakukan penyelidikan, beliau saw lalu menyatakan bahwa Yahudi itulah yang benar dalam kasus tersebut, dan menjadikan muslim tersebut sebagai terdakwa. Beberapa penentang yang dungu dan tidak membaca al-Quran karim secara seksama, mereka mengaitkan segala sesuatunya – seperti halnya kasus di atas – dengan tugas kerasulan beliau saw, padahal hukuman-hukuman serupa ini diberikan dalam kedudukan beliau saw sebagai khilafat, yakni raja.” (Yakni, ini adalah merupakan perkara pemerintahan.)

Setelah masa Hadhrat Musa as, kedudukan nabi dalam Bani Israil telah terpisah dari kedudukan raja yang memiliki tugas menegakkan keamanan dengan perkara-perkara politik. Namun, di masa Hadhrat Rasulullah saw, Allah swt telah menganugerahkan kedua macam kedudukan ini kepada beliau saw. Dengan memberikan pengecualian terhadap orang-orang yang berbuat tindak kejahatan, lantas inilah sikap beliau saw terhadap mereka yang non muslim, sebagaimana tergambar dalam ayat berikut ini:

 

 “Dan wahai Rasul,  katakanlah kepada para ahli kitab dan orang-orang Arab yang jahil, bahwa, “Masuklah kalian ke dalam agama islam. Jika mereka menerima islam, maka mereka telah mendapatkan petunjuk. Dan jika mereka berpaling, maka tugasmu hanyalah menyampaikan perintah ilahi.” (Al-Imran, ruku 3)

Di dalam ayat ini tidaklah tertulis, “Tugasmu adalah berperanglah dengan mereka.” Di sini menjadi jelas bahwa perang hanya untuk mereka para pelaku tindak kejahatan, yang membunuh orang-orang islam, melanggar perjanjian-perjanjian damai, dan biasa melakukan pencurian atau perampokkan. Dan perang ini di lakukan dalam kedudukan sebagai raja, bukan sebagai rasul.” (Yakni, ketika beliau saw memegang kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan, maka beliau saw berperang, tetapi dalam kedudukan beliau saw sebagai nabi, beliau tidak melakukannya.” Sebagaimana firman Allah swt:

“Dan berperanglah kamu di jalan Allah dengan orang-orang yang memerangi kamu, dan janganlah melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”

 (Casymah Ma’rifat, Rohani Khazain, Jilid 23, Hal. 242-243)

Kesimpulan:

1. Nabi Muhammad saw tidaklah mendirikan negara islam di Medinah. Memang benar beliau adalah raja, yakni pemegang tertinggi tampuk kekuasaan di sana, namun perundangan di sana tidaklah berdasarkan syari’at islam, melainkan syari’at semua kaum yang bertindak di sana, (untuk muslim berlaku syariat islam, untuk Yahudi berlaku syariat Yahudi, untuk Kristen berlaku syariat kristen, dst).

2. Muhammad saw memiliki dua kedudukan, yaitu sebagai nabi dan raja, dan ada benang merah antara dua jabatan ini. 

3. Kelompok-kelompok minoritas dapat bebas memeluk agama mereka dan melaksanakan peribadatan menurut agama dan kepercayaannya masing-masing, tidak ada campur tangan pemerintah dalam hal ini. 

4. Mereka yang tinggal di bawah suatu pemerintahan wajib untuk mentaati pemerintahan tempat mereka bernaung tersebut. Persyaratan ini hendaknya menjadi petunjuk bagi gerakan-gerakan jihad di masa sekarang ini, bahwa tanpa mendapatkan izin dari pemerintahan yang di bawahnya mereka tinggal, mereka tidak bisa melakukan suatu bentuk gerakan jihad. Kecuali apabila bergabung dalam tentara pemerintah dan jika negara atau pemerintahan itu berperang, maka hal ini baru dibenarkan).

 

Anda sudah melihat ilustrasi di atas, sekarang masihkah anda berpikir untuk mendirikan negara islam di Republik yang menjunjung tinggi asas “Bhineka tunggal ika” ini? Hati nurani andalah yang bisa menjawabnya.

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun