***
Ketika itu Perpustakaan Teras Baca sedang dijadikan sekret oleh Karang Hawu. Proposal dan surat-surat lainnya berserakan. Tidak apa, pikirku, daripada perpustakaan sepi.Â
Awalnya buku kumcer Putu Wijaya 'Klop' hilang. Aku berang. Tidak ada yang mengakui telah mengambil atau meminjamnya. Karang Hawu akhirnya hanya aku izinkan memakai ruang depan. Buku-buku kembali aku tata ulang.
Selang dua hari dari hilangnya 'Klop', ada satu orang  anggota Karang Hawu menghampiri. Ia ingin punya buku Jiwo J#ncuk yang  ditulis Mbah Tedjo. Aku bilang, di toko buku masih banyak. Ia tahu itu. Tapi ada yang kemudian tidak aku sadari: ia tidak punya uang untuk membeli. Kasian betul.Â
Pinjam saja bukunya, kataku. Tidak, jawabnya. Ia bersikukuh ingin punya. Lalu tidak lama ia pulang dan kembali menemuiku.Â
"Aku punya Saman, lengkap sama tanda tangan mbak Ayu Utami," katanya kemudian. Namun aku tidak mengerti arah pembicaraannya.
"Tukar saja bagaimana? Tapi janji untuk menjaganya, tidak boleh hilang seperti 'Klop' waktu itu," lanjutnya.
Dan itulah kali pertama Saman akhirnya ada di rak buku Perpustakaan Teras Baca. Berdiri bersama dengan novel-novel lain.
***
Seorang anak SMU yang tadi sempat aku singgung menanyakan buku apa yang cocok untuk tugas sekolah. Apa yang ingin dibahas, tanyaku. Fenomena kehidupan sosial perempuan. Ada buku tentang itu, tanya anak itu lagi.
Tidak ada jurnal khusus tentang perempuan, tapi akhirnya aku pinjamkan dua buku: 'Menyemai Harapan' karya Mira  W. dan 'Saman' karya Ayu Utami. Siapa tahu bisa membantu.