Aku jawab karena sedang ingin menulis sesuatu dari Saman, makanya aku baca ulang. Tidak secara urut memang membacanya, hanya beberapa halaman yang sekiranya dibutuhkan.
Kami lalu membahas buku-buku yang ditulis oleh perempuan. Dan ternyata kami punya sedikit kesamaan: referensi yang kami tahu dan telah baca itu-itu sahaja.
Mengasyikan jua membahas buku dengan Kang Jalu. Setidaknya jauh lebih baik tinimbang ia yang selalu ngecengin Arsenal saban kali kalah.
***
Dalam #blogram aku pernah menjelaskan bahwa Saman adalah gerbang pembukak untukku tentang taman. Tentang bagaimana cerita Saman dibuka dengan fragmen sebuah taman dan ini barangkali adalah metafor tentang kebebasan yang selama ini dikekang.
Saman adalah suara itu. Suara kebebasan dan pembebasan. Menurut Dr. Martina, dosen dan pengamat sastra modern Indonesia di  Universitas Hamburg, pada masa Orde Baru profil perempuan banyak dipengaruhi Dharma Wanita, yang disadari atau tidak amat berperan dalam tatanan moral dan etika wanita.Â
"Ini yang menjadi motivasi dalam kehidupan sosial Saman," lanjutnya.
Jika meminjam pandangan beliau tentang perempuan dan etika moral yang membayangi selama masa itu (Orde Baru) bahwa novel 'Saman' telah mengangkat fenomena tersebut ke permukaan: generasi muda tidak setuju, tetapi juga tidak berani mengkonfrontasikannya langsung dengan generasi tua.
Ketabuan ini bisa dicontohkan ketika sedikit sekali perempuan membicarakan seks. Pada masa itu, tentu saja.
Lewat tokoh Leila yang rela terbang jauh ke Central Park, New York, demi menemui Sihar, lelaki yang jelas-jelas sudah beristri. Mereka berjanji akan bertemu di sana, di sebuah taman, di mana tak ada  yang perlu ditangisi. Dosa seakan tidak tumbuh di taman itu, katanya.
Tidak perlu perempuan untuk membahas itu. Aku saja masih takut membaca Saman di ruang publik. Terlalu banyak kejadian tidak mengenakan karena buku itu. Dari ditegur oleh bapak-bapak di kereta sampai meminjamkan buku ini kepada anak SMU dari Perpustakaan.