Siang itu, ruang kerja Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Kupang tampak lengang. Di balik tumpukan berkas laporan dan peta kasus, dr. Marciana Halek berbicara dengan suara tenang namun tegas.
"Delapan SMP di Kota Kupang sudah terpapar kekerasan seksual berbasis elektronik," ujarnya pelan. Kalimat itu sederhana, tetapi seperti petir di siang bolong yang mengguncang kesadaran siapa pun yang mendengarnya.
Kasus ini bukan sekadar perilaku menyimpang biasa, tetapi cerminan perubahan zaman yang tak diimbangi dengan literasi digital dan pengawasan yang memadai.
Semuanya berawal dari satu laporan kecil, seorang murid laki-laki yang menunjukkan bagian tubuhnya kepada teman perempuan saat berganti pakaian di sekolah. Peristiwa itu mendorong pihak sekolah melapor ke Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA). Dari penyelidikan itulah, tabir besar mulai tersingkap.
Petugas menemukan sebuah grup WhatsApp dengan nama polos namun berisi konten yang mengejutkan: "Grup SMP Se-Kota Kupang."
Di dalamnya, ratusan siswa dari berbagai sekolah bergabung, saling berbagi gambar, stiker, dan kata-kata vulgar. Grup itu bahkan sudah kelebihan kapasitas anggota. Lebih dari sekadar obrolan iseng, muncul grup-grup kecil turunan dengan percakapan yang lebih berani, intens, dan mengarah ke praktik seksual berbasis elektronik.
Yang lebih mengkhawatirkan, sebagian interaksi itu berlanjut di dunia nyata dimana anak-anak yang semula hanya bercanda daring mulai melakukan pertemuan fisik dan bahkan praktik prostitusi antar-anak.
Salah satu pelaku, sebut saja M, menjadi perantara. Ia memperdagangkan teman-temannya dengan keuntungan Rp50--100 ribu per transaksi. Harga "layanan" mereka mencapai Rp500 ribu. Kasus ini pun bergulir ke pengadilan, dan M dijatuhi hukuman 10 tahun penjara.
"Dari 25 anak yang kami dampingi, 15 di antaranya kini berada di rumah perlindungan anak," ungkap dr. Marciana. "Mereka butuh pemulihan fisik dan psikis yang tidak sebentar."
Temuan DP3A menunjukkan bahwa mayoritas anak yang terlibat bukan berasal dari keluarga miskin. Motivasi mereka bukan ekonomi, melainkan kebutuhan emosional seperti ingin diterima, dianggap keren, atau sekadar punya teman.
"Banyak dari mereka fatherless, kehilangan figur ayah, atau berasal dari keluarga yang retak," jelas Marciana. "Rumah sudah tidak lagi jadi tempat pulang. Mereka mencari pengganti itu di luar, di grup-grup seperti ini."
Fakta ini menampar banyak pihak. Ternyata, ancaman kekerasan seksual dan eksploitasi tidak selalu muncul dari luar rumah. Seringkali, justru berawal dari kesepian, rasa tidak dihargai, dan kurangnya pengawasan orang tua terhadap aktivitas digital anak.
Pemulihan dan Pendampingan
Para korban kini menjalani pendampingan psikologis dan rohani di rumah perlindungan anak. Proses pemulihan rata-rata berlangsung dua bulan sebelum mereka bisa kembali ke rumah dan sekolah.
Namun, bagi sebagian anak, luka batin yang ditinggalkan tidak semudah itu hilang. "Ada yang masih trauma, takut berinteraksi, bahkan menolak kembali ke sekolah," tutur Marciana.
Untuk mencegah kasus serupa, DP3A menggandeng satgas di tingkat kelurahan, sekolah, hingga lembaga masyarakat. Pendekatan lintas sektor menjadi kunci karena persoalan ini tak bisa ditangani oleh satu pihak saja.