Mohon tunggu...
Harry Dethan
Harry Dethan Mohon Tunggu... Health Promoter

Master of Public Health | Praktisi Perilaku dan Promosi Kesehatan | Menulis dan membuat konten kesehatan, lingkungan, dan sastra | Email: harrydethan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menguap Itu Bisa Menular, Benarkah?

26 Juni 2025   22:43 Diperbarui: 26 Juni 2025   22:43 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: medkomtek.com

Menguap adalah salah satu refleks tubuh paling umum yang kerap diasosiasikan dengan rasa kantuk atau kelelahan. Namun di balik tindakannya yang tampak sederhana, menguap menyimpan fenomena menarik yakni bisa menular. Bukan sekadar mitos atau sugesti, fenomena menguap yang menular ini telah dibuktikan oleh berbagai penelitian ilmiah sebagai cerminan dari mekanisme sosial dan neurologis yang kompleks dalam diri manusia.

Secara ilmiah, penularan menguap berkaitan erat dengan keberadaan mirror neurons atau neuron cermin di otak. Neuron ini berperan dalam meniru perilaku orang lain secara otomatis tanpa disadari. Saat seseorang melihat, mendengar, atau bahkan hanya membayangkan orang lain menguap, neuron cermin ini bisa mengaktifkan respons serupa di dalam otaknya, sehingga timbul dorongan untuk ikut menguap. Ini bukan semata-mata reaksi refleks, tetapi juga bentuk komunikasi sosial nonverbal yang memperkuat empati dan keterhubungan antarindividu dalam suatu kelompok.

Lebih dari itu, penularan menguap juga dipengaruhi oleh kedekatan emosional. Penelitian menunjukkan bahwa seseorang cenderung lebih mudah tertular menguap jika orang yang dilihatnya adalah anggota keluarga, sahabat, atau pasangan. Semakin erat hubungan sosial dan emosional antara dua individu, semakin besar kemungkinan mereka saling "menularkan" menguap. Hal ini mengindikasikan bahwa refleks tersebut bisa menjadi indikator ikatan sosial yang halus namun kuat.

Namun, tidak semua ilmuwan sepakat bahwa penularan menguap semata-mata bersifat sosial. Ada teori lain yang menyatakan bahwa orang-orang yang berada dalam satu lingkungan cenderung mengalami kondisi fisik serupa seperti kelelahan, kebosanan, atau paparan suhu dingin yang bisa memicu menguap secara bersamaan. Terdapat juga penelitian yang menemukan bahwa menguap dapat berfungsi untuk menurunkan suhu otak yang meningkat, menjadikannya respons alami terhadap suhu ruangan yang lebih rendah. Dalam konteks ini, penularan tampak hanyalah reaksi paralel terhadap lingkungan, bukan benar-benar hasil interaksi sosial.

Fenomena menguap menular ternyata tidak hanya terbatas pada manusia. Sejumlah hewan sosial seperti simpanse, anjing, dan bahkan serigala juga menunjukkan perilaku serupa. Menariknya, dalam beberapa kasus, penularan ini bahkan terjadi lintas spesies. Contohnya, anjing peliharaan yang menguap setelah melihat pemiliknya menguap. Fakta ini memperkuat dugaan bahwa mekanisme sosial dan empati telah berevolusi jauh melampaui batas spesies.

Meskipun menguap menular adalah hal yang lazim, tidak semua orang merespons dengan cara yang sama. Variabilitas individu memainkan peran: usia, tingkat perhatian, dan kondisi psikologis seperti stres atau gangguan spektrum autisme dapat memengaruhi seberapa kuat seseorang merespons stimulus sosial ini. Anak-anak di bawah usia empat tahun, misalnya, cenderung belum menunjukkan respons menguap menular secara konsisten, karena empati sosial mereka masih dalam tahap perkembangan.

Pada akhirnya, menguap yang menular bukanlah sekadar kebetulan atau gejala mengantuk massal. Ia adalah cerminan dari jaringan sosial dan emosional kita, ditenun melalui mekanisme otak yang halus dan saling terhubung. Saat kita ikut menguap setelah melihat orang lain melakukannya, tanpa sadar kita sedang menunjukkan empati, kedekatan, dan bahwa kita "terhubung" secara emosional. Sebuah gestur sederhana yang berbicara banyak tentang kemanusiaan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun