Saya pernah mendengar sebuah cerita terkenal di media sosial. Pada suatu pagi Minggu yang cerah, seorang pemuda punk melangkah ragu ke sebuah komunitas yang katanya ramah. Penampilannya mencolok: rambut mohawk, jaket kulit hitam, dan beberapa tindikan di wajah.Â
Ia duduk di barisan belakang, berharap menemukan ketenangan dan harapan untuk berubah menjadi versi dirinya yang lebih baik. Namun, yang ia temui adalah tatapan sinis dan bisik-bisik pelan dari orang-orang di sekitarnya.Â
Ketika ponselnya tiba-tiba berbunyi di tengah suasana hening, ia langsung mendapat teguran keras dari pemimpin acara. Semua mata menoleh, sebagian mencibir. Merasa malu dan tidak diterima, ia pun pergi, bukan dengan hati yang dikuatkan, melainkan dengan rasa ditolak.
Malam harinya, pemuda ini mencoba peruntungan di sebuah klub malam. Ia duduk di bar, memesan minuman. Tak sengaja, tangannya menyenggol gelas hingga minumannya tumpah dan gelasnya pecah di lantai. Ia menahan napas, bersiap menerima teguran atau kemarahan. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Orang-orang di sekitarnya bertanya apakah ia baik-baik saja. Manajer bar datang, meminta maaf atas pelayanan yang kurang baik, bahkan memberinya minuman baru secara gratis. "Tenang saja, kawan. Semua orang pernah berbuat salah," kata sang manajer sambil tersenyum.
Ironis, tempat yang dianggap "gelap" justru memberi penerimaan, sementara tempat yang diharapkan penuh kasih malah menghakimi. Dari pengalaman ini, kita belajar bahwa penerimaan dan empati adalah kebutuhan dasar manusia, tak peduli latar belakang, penampilan, atau masa lalu seseorang.
Kisah ini mengingatkan pada sosok Maria Magdalena - seorang perempuan yang dalam budaya zamannya sering dipandang rendah dan mengalami pengucilan sosial. Namun, ia dikenal sebagai pengikut setia yang hadir di saat-saat paling sulit, termasuk menjadi saksi penting dalam peristiwa penyaliban dan kebangkitan. Maria Magdalena bukan hanya simbol kesetiaan, tetapi juga representasi keberanian menentang norma sosial yang mengekang perempuan.Â
Dalam konteks budaya Yahudi kuno, perempuan sering dipinggirkan dan tidak diakui sebagai saksi sah, namun Yesus memilih Maria sebagai saksi pertama kebangkitan-Nya, sebuah tindakan revolusioner yang mematahkan praktik budaya yang tidak adil. Ini menandakan penghargaan terhadap martabat manusia yang melekat tanpa memandang gender atau status sosial.
Dari sudut pandang filsafat eksistensialisme, kisah pemuda punk dan Maria Magdalena mengilustrasikan gagasan bahwa manusia bukanlah produk dari label sosial atau masa lalu, melainkan makhluk yang bebas memilih dan membentuk jati diri melalui tindakan dan pilihan mereka sehari-hari.Â
Sartre menegaskan bahwa "eksistensi mendahului esensi," yang berarti bahwa identitas kita bukan sesuatu yang sudah ditentukan, melainkan sesuatu yang terus dibentuk dalam perjalanan hidup. Maria Magdalena dan pemuda punk sama-sama berjuang untuk diterima sebagai individu utuh, bukan sekadar sebagai "mantan pendosa" atau "anak punk."
Lebih jauh, filsafat martabat manusia menegaskan bahwa setiap individu memiliki nilai yang tak ternilai, yang menuntut penghormatan dan pengakuan. Ketika komunitas gagal menerima seseorang apa adanya, sesungguhnya mereka mengingkari nilai kemanusiaan yang paling dasar. Empati, sebagai kemampuan untuk merasakan dan memahami pengalaman orang lain, menjadi jembatan penting dalam membangun hubungan sosial yang sehat dan inklusif.