Mohon tunggu...
Harry Dethan
Harry Dethan Mohon Tunggu... Lainnya - Health Promoter

Master of Public Health Universitas Gadjah Mada | Perilaku dan Promosi Kesehatan | Menulis dan membuat konten kesehatan, lingkungan, dan sastra | Email: harrydethan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bolehkah Aku Memiliki Rasa Damai Itu?

9 Juni 2019   12:25 Diperbarui: 9 Juni 2019   12:37 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: talkspace.com

Suasana terlihat penuh dengan kesedihan. Derai air mata memenuhi tempat ini. Inilah tenda duka. Tempat dimana ada yang bersedih dan ada yang bertugas untuk menguatkan. Bukankah itulah gambaran sebenarnya dari makhluk sosial? Ya, tentu demikian.

Namun, selain rasa belasungkawa yang muncul, aku menjadi sangat gusar saat ini. Bukan hanya karena dia yang telah pergi adalah sahabatku. Dialah Wanto, sahabat yang disenangi semua orang. Semua mencintainya karena kebaikan hatinya. Tidak sepertiku, si pembuat onar dan penghilang ketentraman.

Saban hari ketika di rumah sakit, sepertinya ia sudah memberikan tanda padaku. "Pernahkah kamu berpikir, setelah pergi dari dunia ini, akan kemanakah kita?" begitulah pertanyaannya yang kembali mengusikku sekarang.

Di hadapanku, peti matimu akan segera ditutup. "Kemanakah dirimu teman?" batinku dengan gusar. Sejenak kualihkan pandangan ke tempat lain untuk menghilangkan kegusaran dan kesedihan yang sedang bercampur ini.

"Aku sudah tahu kemana aku akan pergi. Yang pastinya ke tempat dengan kedamaian yang tidak habis-habisnya." Jawabnya dari pertanyaannya sendiri. Itulah ingatanku pada pertemuan terakhir dengannya, saat dia dalam keadaan sakit parah. Meski begitu, saat dia berbicara demikian, wajahnya sangat begitu yakin dan penuh senyuman.

"Bagaimana denganku?" Tanyaku pada diri sendiri. Jika bisa, aku ingin menjawab seyakin Wanto tentang kemana aku akan pergi setelah selesai masa ku di sini. Namun yang muncul dalam benakku hanyalah segala kesalahan yang kulakukan sejak hari-hari lalu.

Bahkan, tadi malampun aku masih tidur dalam keadaan mabuk parah dan baru saja memukuli orang. Oh Tuhan, jika semalam tadi adalah tidurku yang terakhir, mungkinkah aku juga berada di tempat damai itu?

Tatapanku lalu kuarahkan ke langit. "Pantaskah aku Tuhan?"

Air mata yang menetes ini mungkin saja akan dikira kemunafikan oleh pandangan sebelah mata yang sedang menatap. Ah. Kemana lagi harus ku melihat dan melangkah? Sudah tidak ada lagi tempat yang mau menerima orang rusak sepertiku. Aku hanyalah seorang buangan dan sampah masyarakat.

"Kakak kenapa nangis? Adek aja tidak menangis." Suara lembut tiba-tiba berbicara dari sebelah kananku. Dia adalah Kiku, adik bungsuku berumur 5 tahun yang duduk tepat di sebelahku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun