"Pertanyaan hidup terjawab perlahan lewat membaca buku." Ungkapan ini tidak hanya berlaku bagi masyarakat umum, melainkan juga sangat relevan bagi pejabat publik. Dalam dunia birokrasi dan politik, pertanyaan besar sering kali muncul: bagaimana menyejahterakan rakyat, mengelola anggaran dengan transparan, hingga membangun kebijakan yang adil? Jawaban atas pertanyaan itu jarang datang melalui insting semata, melainkan dari pengetahuan yang mendalam. Dan salah satu jalan terbaik adalah melalui membaca buku.
Membaca Buku sebagai Sumber Kebijakan Bijak
Seorang pejabat yang rajin membaca memiliki perspektif lebih luas dibandingkan mereka yang hanya mengandalkan laporan singkat staf atau paparan singkat dalam rapat. Buku memberi ruang refleksi, melatih kemampuan analisis, serta menyediakan contoh nyata dari berbagai negara dan era. Misalnya, buku tentang ekonomi politik dapat membantu memahami dinamika pasar global, sementara buku sejarah kebijakan publik dapat memberikan pelajaran dari keberhasilan maupun kegagalan masa lalu.
Dengan membaca, seorang pejabat tidak sekadar reaktif terhadap situasi, melainkan proaktif dalam merancang solusi. Ia mampu memprediksi dampak kebijakan, menimbang berbagai skenario, dan menghindari pengulangan kesalahan.
Jawaban yang Tidak Instan
Dalam menjalankan tugas publik, pejabat dihadapkan pada masalah kompleks: kemiskinan, pengangguran, hingga ketimpangan sosial. Tidak ada jawaban instan untuk persoalan-persoalan tersebut. Membaca buku mengajarkan kesabaran intelektual---bahwa jawaban atas persoalan besar akan datang perlahan, melalui pemahaman mendalam dan perbandingan berbagai teori serta praktik.
Pejabat yang membaca sadar bahwa kebijakan bukan hanya soal popularitas sesaat, melainkan keberlanjutan jangka panjang. Dari buku, mereka belajar bahwa reformasi yang baik membutuhkan fondasi kuat, bukan sekadar keputusan cepat yang mengejar pencitraan.
Membentuk Karakter Kepemimpinan
Membaca buku juga membantu membentuk karakter kepemimpinan yang lebih humanis dan visioner. Buku sastra, misalnya, menumbuhkan empati pejabat terhadap penderitaan rakyat kecil. Buku filsafat melatih pejabat untuk berpikir kritis dan adil. Sementara buku biografi tokoh besar memberi inspirasi tentang arti integritas dan pengabdian.
Pejabat yang terbiasa membaca biasanya lebih hati-hati dalam berbicara, lebih tenang dalam mengambil keputusan, dan lebih bijak dalam menimbang konsekuensi. Membaca menjauhkan mereka dari sikap serba instan dan dangkal.
Membaca di Era Digital bagi Pejabat Publik
Dalam era digital, pejabat mudah sekali terjebak pada informasi singkat dan viral. Padahal, kebijakan publik membutuhkan pemahaman yang lebih dari sekadar headline berita. Buku hadir sebagai penyeimbang: memberi kedalaman, konteks, dan narasi panjang yang tidak ditemukan dalam media sosial.
Seorang pejabat yang membaca buku dengan tekun akan lebih mampu membedakan antara tren sesaat dan kebutuhan nyata rakyat. Ia bisa memilah mana kebijakan yang visioner dan mana yang sekadar ikut arus.
"Pertanyaan hidup terjawab perlahan lewat membaca buku" adalah refleksi universal, termasuk bagi para pejabat publik. Membaca bukan hanya aktivitas pribadi, melainkan investasi sosial. Pejabat yang membaca akan melahirkan kebijakan yang lebih matang, bijak, dan berorientasi pada keberlanjutan.