Di banyak rumah tangga Indonesia, emas bukan sekadar logam mulia yang berkilau. Ia adalah simbol ketenangan, penawar rasa cemas, sekaligus "bantal" finansial yang bisa menopang di saat segalanya terasa goyah. Setiap kali harga emas naik, media sosial penuh dengan komentar bernada lega: "Untung kemarin sempat beli." Sebaliknya, ketika harga stagnan, nada yang muncul biasanya bercampur antara menunggu dan berharap.
Hari Minggu, 10 Agustus 2025, harga emas batangan PT Aneka Tambang (Antam) tercatat stabil di Rp 1.951.000 per gram. Harga buyback-nya pun tidak bergerak, tetap di Rp 1.797.000 per gram. Jika dibandingkan dengan Jumat (8/8/2025), harga ini hanya terpaut tipis---karena sempat naik Rp 13.000 menjadi Rp 1.959.000 per gram. Stagnasi ini mungkin terlihat biasa saja di mata sebagian orang. Namun bagi investor, pedagang, dan kolektor emas, setiap angka punya cerita.
Emas dan Nafas Panjang Ekonomi Domestik
Harga emas yang tidak berubah kerap dimaknai sebagai momen jeda. Bagi pelaku pasar, stagnasi ini memberi kesempatan untuk "mengatur nafas" sebelum menentukan langkah selanjutnya. Namun, di sisi lain, ia juga bisa menjadi tanda bahwa pasar tengah menunggu faktor pemicu baru---entah itu pergerakan harga emas dunia, kebijakan bank sentral AS, atau perubahan kurs rupiah.
Di tingkat global, emas sedang bergerak di tengah pusaran geopolitik yang panas. Tarif baru dari pemerintahan Trump terhadap beberapa komoditas membuat harga emas dunia sempat menyentuh rekor 3.534 dolar AS per ons. Di dalam negeri, pelemahan rupiah terhadap dolar AS dan kecenderungan masyarakat mencari instrumen lindung nilai menjadi faktor penopang harga.
Namun mengapa stagnasi bisa bertahan? Jawabannya ada pada keseimbangan permintaan dan suplai yang sementara ini stabil. Permintaan dari sektor ritel---termasuk pembelian emas batangan di gerai Antam---masih tinggi, tapi tidak cukup kuat untuk mendorong lonjakan harga, karena pasar internasional sedang berada di fase konsolidasi.
Pajak, Regulasi, dan Perilaku Beli
Satu aspek yang jarang dibahas secara luas adalah peran regulasi dalam memengaruhi perilaku beli emas. Berdasarkan PMK Nomor 34 Tahun 2017, pembelian emas batangan dikenakan PPh 22 sebesar 0,9 persen. Aturan terbaru dalam PMK Nomor 38 Tahun 2023 memberi insentif berupa tarif lebih rendah (0,25 persen) bagi pembeli yang menyertakan NPWP.
Bagi investor kecil, perbedaan tarif ini bisa menjadi pertimbangan serius. Mereka yang membeli emas untuk tabungan jangka panjang cenderung akan memastikan semua dokumen lengkap demi efisiensi biaya. Sementara itu, sebagian lainnya tetap membeli meski harus membayar pajak penuh, karena bagi mereka, emas adalah soal keamanan, bukan hitung-hitungan jangka pendek.
Hal yang sama berlaku untuk buyback. Penjualan kembali emas ke Antam di atas Rp 10 juta dikenakan PPh 22 sebesar 1,5 persen (pemegang NPWP) atau 3 persen (non-NPWP). Pajak ini langsung dipotong dari nilai buyback. Bagi sebagian orang, angka ini adalah biaya "menguangkan rasa aman" yang selama ini disimpan dalam bentuk logam mulia.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!