"Di negeri yang katanya tumbuh, mengapa gerai-gerai hanya ramai pandangan dan bukan transaksi?"
Fenomena "rojali" dan "rohana" kini tak sekadar istilah viral di jagat maya, tetapi telah menjelma sebagai indikator tak resmi dari kondisi ekonomi masyarakat kelas menengah ke bawah. Di tengah gemerlap mal yang penuh manusia, kenyataannya kasir-kasir sepi, dan mesin EDC lebih banyak diam ketimbang berdering. Fenomena ini bukan semata gaya hidup, melainkan representasi daya beli yang kian memudar.
Menurut laporan Kompas.com (5 Agustus 2025), ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada semester I 2025 akan stagnan di kisaran 4,6--4,8 persen. Lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 5,08 persen. Salah satu indikator yang memicu prediksi itu adalah munculnya perilaku Rojali (rombongan jarang beli) dan Rohana (rombongan hanya nanya) yang semakin masif.
Sementara itu, Bhima Yudhistira dari Celios menambahkan bahwa fenomena ini bukan hanya masalah gaya belanja, tetapi refleksi daya beli yang lesu akibat tekanan ekonomi yang kompleks. Ia bahkan memperkirakan pertumbuhan kuartal II 2025 hanya akan berada di kisaran 2,5--4,7 persen.
Konsumen Menyusut, Mal Tetap Padat
Ironi ini menarik untuk direnungkan: pusat perbelanjaan tampak hidup, tetapi transaksi ekonomi justru merosot. Alih-alih membeli, masyarakat justru menjadikan mal sebagai tempat pelarian dari tekanan hidup---ruang ber-AC gratis, hiburan visual, dan wifi publik. "Belanja mata" jadi istilah yang makin sahih di tengah turunnya tabungan dan meningkatnya utang konsumtif.
Data dari Ditjen Pajak menyebutkan bahwa penerimaan dari PPN dan PPnBM mengalami kontraksi sebesar 19,7% atau senilai Rp 267,27 triliun. Kontraksi ini bukan hanya sinyal teknikal fiskal, melainkan petunjuk bahwa masyarakat menahan konsumsi, bahkan untuk barang-barang yang sebelumnya dianggap kebutuhan pokok.
Dari Daya Beli Menuju Daya Bertahan
Yang terjadi hari ini bukan sekadar daya beli yang melemah, tapi pergeseran menuju daya bertahan. Dalam situasi di mana inflasi terasa meski tak selalu tercatat, dan harga-harga tak pernah benar-benar turun, masyarakat menyesuaikan gaya hidup. Mereka tetap datang ke mal agar "terlihat normal", tetapi tidak membeli agar tetap waras.
Tren ini juga didukung oleh data penurunan outstanding tabungan dan peningkatan tajam pinjaman online. Seolah-olah, masyarakat sekarang hidup dengan strategi bertahan: tampil seolah kuat, meskipun dompet sebenarnya sudah kosong.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!