“Konon katanya, kita negara agraris. Tapi nyatanya, yang panen justru mafia.
Petani menanam, tengkulak menekan, middleman menimbun, kita cuma menebak-nebak: ini beras asli atau hasil oplosan lagi?
Mungkin sudah saatnya kita ganti slogan: ‘Dari rakyat, oleh tengkulak, untuk kartel.’
Lalu pertanyaannya: kita ini masih makan nasi… atau makan ilusi?”
Beras adalah lebih dari sekadar bahan pokok di Indonesia; ia merupakan simbol kedaulatan pangan, budaya, dan kesejahteraan nasional.
Namun, di balik nilai simboliknya yang tinggi, beras justru menjadi ladang praktik curang yang melibatkan jaringan terorganisir---mafia beras.
Fenomena ini bukan baru terjadi, namun laporan terbaru dari Kementerian Pertanian dan Satgas Pangan Polri kembali membuka mata publik terhadap betapa masif dan sistemiknya persoalan ini.
Investigasi yang dilakukan pada Juni 2025 di 10 provinsi besar, termasuk Jakarta dan Jawa Barat, mengungkapkan bahwa 212 dari 268 merek beras yang diuji tidak memenuhi standar mutu atau melanggar harga eceran tertinggi (HET).
Bahkan, Kementan mencatat bahwa 80 persen beras subsidi SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan) dioplos dengan beras berkualitas rendah, lalu dikemas ulang seolah-olah sebagai beras premium.
Praktik ini mendatangkan keuntungan hingga Rp2 triliun per tahun bagi pelakunya, namun kerugian konsumen diperkirakan mencapai Rp99 triliun per tahun---angka yang mencengangkan dan mencoreng wajah sistem pangan nasional.