Dalam beberapa waktu terakhir, pusat-pusat perbelanjaan di Indonesia---terutama di wilayah urban---dipenuhi oleh sekelompok pengunjung unik yang dijuluki Rojali, singkatan dari "rombongan jarang beli."Â
Istilah ini merujuk pada kebiasaan sekelompok orang yang datang beramai-ramai ke mal, kafe, atau restoran, namun hanya melakukan sedikit atau bahkan tidak ada transaksi pembelian.
Fenomena ini mungkin terdengar lucu pada awalnya---"yang minum satu, yang ngumpul lima orang," kata Ketua Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Budihardjo Iduansjah.Â
Namun di balik candaan tersebut tersembunyi ironi ekonomi yang lebih dalam: tekanan daya beli masyarakat yang belum pulih dan perubahan drastis pola konsumsi di tengah era digital dan inflasi.
Perilaku konsumen kini tidak lagi semata ditentukan oleh keinginan untuk membeli, tetapi juga oleh kebutuhan untuk bersosialisasi, melepas penat, dan bahkan bekerja.Â
Kafe-kafe seperti J.Co, Starbucks, atau Excelso kini kerap menjadi tempat "meeting point" informal.Â
Bahkan, tidak jarang terlihat rombongan remaja atau pekerja lepas yang menggunakan meja kafe layaknya ruang kerja bersama---dengan satu gelas minuman yang di-"share" selama berjam-jam.
Fakta bahwa omzet industri makanan dan minuman justru meningkat sebesar 5-10 persen, sebagaimana disampaikan Budihardjo, menunjukkan bahwa meskipun transaksi kecil, frekuensinya tinggi.Â
Artinya, Rojali mungkin bukan konsumen besar, tetapi mereka tetap berkontribusi terhadap roda ekonomi, meskipun secara tidak konvensional.
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja, menegaskan bahwa fenomena Rojali bukanlah hal baru.Â