Oleh: Harmoko
Ada dua spesies baru yang sedang ramai wara-wiri di mal Indonesia: Rojali dan Rohana. Tenang, ini bukan sinetron religi Ramadan pukul 18.00 WIB, tapi sebutan baru yang menggambarkan fenomena ekonomi rakyat dengan cara yang---sarkastik tapi simpatik.
Rojali adalah rombongan jarang beli. Sementara Rohana adalah rombongan hanya nanya. Dua entitas sosial ini tidak punya hubungan darah, tapi punya benang merah yang jelas: isi dompet yang lebih cocok untuk beli gorengan lima ribu ketimbang sneakers lima juta. Namun, entah kenapa, mereka tetap menyempatkan diri jalan-jalan di mal.
Mal: Tempat Ibadah Konsumsi yang Tetap Dikunjungi
Mal, bagi sebagian masyarakat urban, adalah tempat kudus. Di sana ada AC gratis, hiburan visual, suara diskon yang menggoda iman, dan tentu saja: tempat selfie yang fotogenik. Namun kini, mal berubah fungsi. Ia bukan lagi arena transaksi, melainkan ruang rekreasi---tanpa pembelian.
Muncullah si Rojali dan Rohana, berbalut kaos casual dan semangat untuk "healing" walau dompet sedang "ailing."
Kenapa Mereka Tetap ke Mal?
Ada satu kalimat sakti yang bisa menjelaskan ini: "refreshing itu penting, meski belanja enggak mungkin."Â
Kondisi mental masyarakat pascapandemi, ditambah tekanan ekonomi, membuat mal menjadi semacam spa sosial. Jalan-jalan, lihat-lihat barang, nonton promo, mencicipi tester makanan (gratis tentunya), semua itu memberikan efek dopamin yang lumayan ampuh. Biaya masuk? Nol rupiah.Â
Perubahan Pola Konsumsi: Dari Brand ke Boba
APPBI menyatakan bahwa fenomena ini bukan baru. Tapi intensitasnya naik. Kenapa? Karena daya beli menurun, sementara hasrat untuk tampil tetap bertahan.
Sekarang orang ke mal bukan untuk belanja barang primer, apalagi barang branded. Mereka cari barang yang harganya bisa ditutup pakai e-wallet sisa cashback bulan lalu.
Apakah Ini Masalah? Tergantung Siapa yang Menjawab
Bagi pengelola mal dan peritel, tentu saja ini masalah. Pengunjung ramai tapi kasir sepi. Pencapaian target penjualan semakin mirip harapan: tinggi, tapi tidak realistis.
Namun bagi pelaku Rojali-Rohana, ini justru bentuk adaptasi. Kalau belanja tak mampu, ya minimal eksistensi tetap dijaga.