Kita terlalu sering jadi donatur yang datang setahun sekali. Saat Ramadan, Natal, atau ulang tahun kantor. Kita datang bawa nasi kotak dan bingkisan. Lalu foto bersama. Upload di media sosial. Dan pulang dengan merasa puas.
Tapi setelah itu, anak-anak itu kembali ke rutinitas yang sunyi. Tak ada yang mendongeng. Tak ada yang menepuk pundak saat mereka sedih. Tak ada yang memanggil mereka dengan "Nak" atau "Sayang."
Kita, yang datang dengan niat baik, kadang terlalu sibuk memberi bantuan logistik, tapi lupa memberi bantuan emosional.
Butuh Sistem, Bukan Simpati Musiman
Pemerintah memang sudah punya program seperti ATENSI (Asistensi Rehabilitasi Sosial), Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA), bahkan Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GN-OTA). Tapi pertanyaannya: apakah program ini menyentuh langsung anak-anak? Ataukah hanya jadi data dalam laporan tahunan?
Anak-anak ini butuh sistem pengasuhan yang manusiawi. Salah satu alternatif adalah model foster care---anak tinggal bersama keluarga pengganti dengan pendampingan dari pemerintah. Di beberapa negara, pendekatan ini jauh lebih berhasil daripada sistem panti asuhan konvensional.
Indonesia bisa belajar. Tapi belajar saja tidak cukup. Harus ada keberanian untuk mengubah.
Refleksi Kecil: Pelukan Lebih Mahal dari Sumbangan
Mengapa bukan permen, mainan, atau uang jajan?
Jawabannya mungkin sederhana tapi dalam: karena itulah yang tidak pernah ia dapatkan.