Mohon tunggu...
Harmoko
Harmoko Mohon Tunggu... Penulis Penuh Tanya

"Menulis untuk menggugah, bukan menggurui. Bertanya agar kita tak berhenti berpikir."

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Sindikat Perdagangan Bayi di Indonesia: Harga Belasan Juta, Hati Nurani Bangsa Tergadai

20 Juli 2025   06:11 Diperbarui: 20 Juli 2025   06:11 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Bersalin atau berpisah? Di bawah tekanan sistem, pilihan menjadi luka."/Dokumentasi Penulis Penuh Tanya 

Di tengah geliat pembangunan dan semangat digitalisasi, Indonesia kembali tercoreng oleh kabar kelam: perdagangan bayi. 

Bukan sekadar isu kriminal biasa, kasus di Jawa Barat ini menunjukkan bahwa sindikat yang memperjualbelikan nyawa manusia---dalam hal ini bayi---telah menjelma menjadi praktik yang terstruktur, sistematis, dan berlangsung cukup lama tanpa terdeteksi publik.

Bayi-bayi tersebut bukan hanya dijual dengan harga belasan juta rupiah, tetapi juga telah "dipesan" sejak usia kandungan delapan hingga sembilan bulan. 

Ini bukan sekadar transaksi ilegal, melainkan potret memilukan dari kemunduran moral dan lemahnya sistem perlindungan negara terhadap yang paling rentan: anak-anak.

Polisi menangkap puluhan orang dalam jaringan ini, mulai dari perekrut ibu hamil, perawat bayi, pemalsu dokumen, hingga kurir pengirim. 

Mirisnya, ada dugaan keterlibatan oknum dalam instansi negara, seperti Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, yang memfasilitasi dokumen palsu untuk proses pengiriman lintas daerah dan bahkan lintas negara.

Pertanyaan yang tak terelakkan: bagaimana mungkin praktik sebesar ini bisa lolos dari pantauan negara begitu lama? 

Di mana peran sistem deteksi dini pemerintah daerah, rumah sakit, maupun lembaga perlindungan anak?

Kita tidak sedang membicarakan jaringan narkoba atau pencurian kendaraan. 

Kita berbicara tentang perdagangan manusia---bayi yang bahkan belum sempat mengenal dunia. Mereka diperlakukan bukan sebagai manusia, tetapi sebagai komoditas. 

Layaknya barang, mereka dikemas, dikirim, dan dipindahkan, seolah tak punya hak untuk hidup dengan martabat.

Lebih dari sekadar mengecam pelaku, kita perlu menatap cermin: mengapa praktik seperti ini terus terjadi? 

Tekanan ekonomi, lemahnya akses terhadap layanan kesehatan dan perlindungan sosial, hingga minimnya edukasi reproduksi---semua menjadi akar yang menyuburkan kejahatan ini.

Negara tidak boleh hanya hadir saat penindakan. 

Ia harus hadir lebih awal---mencegah, melindungi, dan merangkul para ibu yang mungkin tak berdaya dalam mengambil keputusan yang keliru karena kondisi hidup yang menghimpit. 

Mengapa tidak memperkuat sistem adopsi legal yang transparan dan berempati? 

Mengapa tidak memperluas jangkauan layanan sosial ke desa-desa dan daerah urban miskin tempat sindikat ini berkembang?

Perdagangan bayi adalah lonceng peringatan. Ini bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga moral. 

Ketika negara gagal menjaga kehidupan dari sejak dalam kandungan, maka kita semua patut bertanya: bangsa macam apa yang sedang kita bangun?

Palembang, 20 Juli 2025

Ditulis Oleh: Harmoko, Penulis Penuh Tanya 

"Menulis untuk menggugah, bukan menggurui. Bertanya agar kita tak berhenti berpikir."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun