Pemerintah, masyarakat, dan seluruh stakeholder kini dihadapkan pada kenyataan pahit: selama bayi bisa "dipesan" sejak dalam kandungan, negara belum sepenuhnya menjalankan tugasnya dalam melindungi yang paling rentan.
Pada tanggal 18 Juli 2025, Kompas menyampaikan sorotan tajuk rencana mengenai pengungkapan sindikat perdagangan bayi lintas provinsi dan negara oleh Polda Jawa Barat.Â
Setidaknya enam bayi diselamatkan, sementara sekitar 20 bayi lainnya telah terlanjur dijual sejak 2023---dengan 15 di antaranya dijual ke Singapura dan sudah memiliki kewarganegaraan baru  .
Sindikat ini melibatkan setidaknya 13 orang dengan jaringan profesional: mulai dari perekrut calon ibu melalui media sosial, perekrut bayi, penampung, pemalsu dokumen, hingga pengirim bayi ke luar negeri.Â
Ada indikasi keterlibatan tenaga medis dan pegawai dinas kependudukan dalam memuluskan jalur ilegal ini  .
Fakta bahwa bayi dapat "dipesan" saat kandungan berusia 8--9 bulan menunjukkan derajat komodifikasi terhadap kehidupan manusia yang sangat dini.Â
Tekanan pada ibu kandung adalah bentuk nyata eksploitasi sistemik---dimana kemiskinan, stigma sosial, atau kehamilan di luar nikah dimanfaatkan sebagai pintu masuk oleh sindikat untuk menawarkan imingiming finansial sebagai kompensasi.
Kasus ini menyampaikan beberapa pelajaran serius tentang kegagalan sistem sosial dan negara:
1. Regulasi Adopsi dan Hukum Tak Cukup Sendiri
Tanpa pengawasan yang ketat terhadap lembaga adopsi legal dan perantara adopsi lintas negara, peluang praktik ilegal terus besar.
2. Peran Negara dalam Penegakan dan Perlindungan
Penangkapan pelaku penting, namun tidak bisa menggantikan perlindungan pra-keputusan: dukungan terhadap ibu rentan, sistem pendampingan, dan identifikasi dini menjadi kunci preventif.
3. Pengawasan Digital dan Hukum Siber
Media sosial seperti Facebook menjadi pintu masuk utama perekrutan dan pencarian calon ibu.Â
Oversight platform dan aparat hukum berbasis siber perlu diperkuat untuk memutus rantai distribusi bayi ilegal  .
4. Kolaborasi Internasional
Kasus yang melibatkan kewarganegaraan asing membutuhkan kerjasama hukum antarnegara.Â
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Interpol telah dilibatkan untuk menangani distribusi bayi ke Singapura dan memperlancar proses perlindungan dan pengembalian bila memungkinkan.
- Audit dan reformasi sistem administrasi kependudukan untuk menutup celah identitas palsu seperti KTP, KK, akta lahir, dan paspor.
- Program perlindungan sosial bagi ibu hamil rentan, termasuk akses layanan kesehatan, edukasi, dan dukungan komunitas.
- Penegakan hukum yang memberi efek jera, dengan tuntutan pidana maksimal (Pasal TPPO dan UU Anak) serta pemidanaan terhadap pelaku serta pihak pembuat dokumen palsu.
- Sosialisasi luas tentang jalur adopsi sah dan legal, dengan kampanye edukatif dan sistem adopsi yang transparan dan akuntabel.
Kasus perdagangan bayi ini bukan sekadar pelanggaran hukum.
Ia merupakan simbol ketidakhadiran negara di garis paling dasar: sejak seorang bayi belum lahir, ia sudah bisa dimiskinkan haknya, bahkan dipindahkan lintas wilayah dan negara dengan identitas palsu.Â