Mohon tunggu...
Harmoko
Harmoko Mohon Tunggu... Penulis Penuh Tanya

"Menulis untuk menggugah, bukan menggurui. Bertanya agar kita tak berhenti berpikir."

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Penulis Penuh Tanya: Menulis untuk Menggugah, Bukan Menggurui

11 Juli 2025   00:22 Diperbarui: 11 Juli 2025   00:22 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi 

Oleh Harmoko -- Penulis Penuh Tanya

"Menulis untuk menggugah, bukan menggurui. Bertanya agar kita tak berhenti berpikir."

Kalimat itu bukan sekadar kutipan. Ia adalah semacam kompas batin yang saya pegang setiap kali menulis. Di era ketika opini berseliweran tanpa filter, ketika jempol lebih cepat dari akal, saya justru memilih jalan yang penuh tanya.

Apa Gunanya Menulis Jika Tak Ada yang Tergugah?

Pertanyaan ini sederhana, tapi mengguncang dasar saya sebagai penulis. Banyak orang menulis untuk menunjukkan kepintaran, menyampaikan pendapat, bahkan kadang sekadar untuk terlihat eksis. Tapi apakah semua tulisan memberi ruang bagi pembacanya untuk ikut berpikir?

Saya percaya, tulisan yang baik bukan yang membuat pembaca berkata, "Wah, kamu pintar," tapi yang membuat mereka berkata, "Wah, aku jadi mikir."

Itulah mengapa saya tidak nyaman menulis dengan gaya menggurui. Saya bukan dosen yang memberi nilai. Saya hanya seorang rakyat biasa dari Palembang, Sumatera Selatan, yang ingin mengajak orang-orang duduk bersama dan berpikir bareng.

Menjadi Penulis Penuh Tanya, Bukan Jawaban

Label "Penulis Penuh Tanya" bukan sekadar gaya, tapi filosofi. Bagi saya, tanya adalah bentuk penghormatan tertinggi pada nalar manusia. Menulis dengan pertanyaan artinya membuka pintu, bukan menutupnya. Mengajak pembaca bertualang di belantara pikiran, bukan menyodorkan GPS dan berkata, "Ikuti ini!"

Misalnya dalam menulis tentang isu ekonomi, saya tidak bertanya "Apa solusi terbaik bagi UMKM?" tapi "Apa yang membuat UMKM sulit naik kelas meskipun sudah banyak program?" Pertanyaan itu memberi ruang untuk refleksi---bagi pembaca, dan jujur saja, bagi saya sendiri.

Karena kenyataannya, saya sering menemukan jawabannya justru setelah tulisan itu tayang, dibaca orang, dikomentari, dan diperdebatkan.

Palembang dan Panggilan untuk Menulis

Sebagai orang Palembang, saya tidak bisa lepas dari budaya bertanya. Di warung kopi, di pasar, bahkan di pinggir jalan---pertanyaan-pertanyaan kerap muncul spontan. Tapi sayangnya, tidak banyak yang menuliskannya. Padahal di situlah denyut nadi masyarakat hidup.

Saya ingin mengabadikan denyut itu. Menuliskannya agar tak hilang ditelan algoritma. Mengangkat suara orang-orang yang tak sempat menulis, tapi sebenarnya menyimpan hikmah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun