Oleh: Harmoko | Palembang, 4 Juli 2025
Tradisi yang Tak Boleh Sekadar Jadi Kenangan
Setiap kali kita menyaksikan Pacu Jalur di Riau, Karapan Sapi di Madura, atau Festival Lembah Baliem di Papua, kita sebenarnya sedang menyentuh denyut nadi bangsa. Ini bukan sekadar hiburan atau tontonan tahunan yang ramai di kalender wisata, tapi jejak budaya yang telah melintasi generasi. Namun, di balik keriuhan dan warna-warni kemeriahan, ada pertanyaan penting: Apakah festival budaya hanya akan menjadi potret masa lalu yang rutin didaur ulang, atau bisa menjadi wahana transformasi budaya yang naik kelas?
Indonesia memiliki lebih dari 17.000 pulau dan ratusan kelompok etnik, masing-masing dengan tradisi unik yang kaya. Namun, arus modernisasi yang deras kadang membuat kita lupa: budaya bukan warisan museum, tapi sesuatu yang hidup---dan harus dihidupkan. Di sinilah peran festival budaya menjadi vital. Ia bukan sekadar panggung selebrasi, tapi alat pelestarian, medium edukasi, dan bahkan motor penggerak ekonomi daerah.
Festival budaya memiliki posisi strategis dalam menjaga keberlanjutan warisan tradisi lokal. Ambil contoh Pacu Jalur, lomba dayung tradisional khas Kuantan Singingi, Riau. Tradisi ini sudah ada sejak abad ke-17, awalnya sebagai bentuk hiburan rakyat untuk menyambut tamu kerajaan. Kini, Pacu Jalur telah berevolusi menjadi agenda wisata nasional yang mempertemukan nilai sejarah, semangat gotong royong, dan potensi ekonomi.
Kapal atau "jalur" yang digunakan bukan perahu sembarangan. Panjangnya bisa mencapai 25--40 meter, dan dihiasi ukiran khas Melayu yang mencerminkan filosofi lokal. Masing-masing tim bisa terdiri dari 40--60 pendayung yang mengandalkan kekompakan, stamina, dan irama. Di sinilah letak pelajaran tak tertulis: tentang kerja sama, hormat pada leluhur, dan semangat kolektif.
Festival bukan hanya tentang apa yang ditampilkan di atas panggung, tetapi juga tentang apa yang diwariskan dari balik panggung---cerita rakyat, pakaian adat, kuliner tradisional, hingga tutur bahasa. Ia adalah ruang perjumpaan antara yang tua dan muda, antara yang lokal dan global, antara akar dan sayap.
Selain Pacu Jalur, banyak festival budaya di Indonesia yang sudah mendunia, masing-masing membawa ciri khas yang unik:
Karapan Sapi -- Madura
Lebih dari sekadar balapan sapi, ini adalah lambang status sosial, kebanggaan petani, dan ekspresi kebudayaan Madura yang penuh gairah.
Festival Lembah Baliem -- Papua
Menampilkan simulasi perang antar suku Dani, Yali, dan Lani, festival ini tidak glorifikasi kekerasan, melainkan simbol perdamaian dan rekonsiliasi.
Grebeg Maulud -- Yogyakarta
Perpaduan antara Islam, Jawa, dan budaya keraton dalam bentuk iring-iringan gunungan sebagai sedekah rakyat dari Sultan.
Cap Go Meh Singkawang -- Kalimantan Barat
Dengan parade tatung (orang yang dirasuki roh leluhur), Singkawang menjadi simbol kerukunan antaragama dan multikulturalisme Indonesia.
Festival Danau Toba -- Sumatera Utara
Mengangkat budaya Batak Toba, festival ini menjadi pintu masuk mengenalkan kekayaan danau vulkanik terbesar di dunia.
Masing-masing festival membawa pesan: kita berbeda, tetapi terhubung dalam jalinan tradisi yang kuat. Jika dirancang dengan tepat, festival bisa menjadi "branding lokal" yang memperkuat identitas daerah sekaligus menarik perhatian global.
Tapi, kita juga tak boleh menutup mata. Banyak festival budaya hari ini terjebak pada formalitas, seremoni, dan bahkan komersialisasi berlebihan. Dalam beberapa kasus, esensi budayanya kabur tertutup kemasan "event pariwisata" semata.