Dalam dunia evakuasi darurat, enam hari adalah waktu yang bisa memisahkan hidup dan mati---jika belum meninggal di tempat, atau setidaknya, memisahkan kejelasan dan ketidakpastian. Dalam kasus Juliana, proses evakuasi berjalan lambat. Terlalu lambat.
Ya, kita tahu medan terjal, cuaca ekstrem, dan jalur sempit menjadi hambatan. Tapi apakah itu alasan atau justru tanda bahwa kita belum benar-benar siap?
Siap menghadapi insiden.
Siap menghadirkan respons cepat.
Siap mengelola pariwisata alam secara profesional, bukan hanya semangat lokal dan semangat gotong royong.
Saya tidak meremehkan kinerja para relawan, porter, atau tim SAR. Mereka adalah pahlawan yang bekerja dengan dedikasi luar biasa di lapangan. Tapi mari kita jujur: sistem kita masih rapuh. Prosedur darurat masih sporadis. Dan infrastruktur pendukung? Sering kali absen.
Gunung sebagai Komoditas: Antara Romantisme dan Bisnis
Gunung Rinjani, seperti banyak gunung lain di Indonesia, telah menjadi komoditas. Ia dikemas dalam brosur, ditawarkan lewat paket wisata, dan ditargetkan jadi sumber devisa daerah. Tak salah. Pariwisata memang penting. Tapi saat keindahan alam hanya dijadikan magnet ekonomi tanpa investasi serius dalam aspek keselamatan, maka kita hanya menjual mimpi setengah matang.
Saya ingat kata-kata seorang teman pemandu gunung: "Orang banyak datang ke Rinjani untuk mencari puncak. Tapi tak semua tahu bahwa puncak bukanlah tempat merayakan kemenangan, tapi tempat paling rawan jika kamu tak siap."
Kesiapan itu tidak hanya soal pendaki, tapi juga soal negara.
Ketika seorang turis meninggal karena jatuh di tebing, kita bisa bilang: "Itu risiko." Tapi ketika evakuasinya makan waktu hampir seminggu, kita tak bisa lagi bersembunyi di balik kata "risiko". Itu sudah masuk ranah tanggung jawab.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!