Punya rumah sendiri adalah mimpi yang begitu manusiawi. Bukan hanya soal status sosial atau investasi masa depan, tapi tentang rasa aman---tempat berteduh, membesarkan anak, dan menua bersama harapan. Di tengah harga properti yang makin menjulang, rumah subsidi jadi jalan ninja bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Tapi... apakah rumah subsidi memang menjawab mimpi itu, atau sekadar pelipur lara?
Seorang teman pernah berkata dengan senyum lega, "Akhirnya bisa punya rumah juga, walau agak nyempil di ujung kota." Tapi beberapa bulan kemudian, nada bicaranya berubah drastis. Jalanan masih berupa tanah merah, air lebih sering keruh daripada bening, listrik senang mati mendadak, dan layanan publik? Hanya wacana. "Murahnya di depan, stresnya di belakang," keluhnya sambil mengangkat bahu.
Lalu saya berpikir, sebenarnya apa sih yang kita harapkan dari rumah subsidi?
Apakah cukup hanya karena DP-nya ringan dan cicilannya bisa dicicil? Atau kita diam-diam berharap lebih: rumah yang walau sederhana, tapi layak ditinggali, tidak membuat penghuninya seperti sedang menebus takdir.
Ekspektasi masyarakat sebetulnya sederhana: rumah yang hidup. Artinya, bukan hanya berdiri kokoh, tapi berada di lingkungan yang manusiawi---ada akses jalan, air bersih, layanan kesehatan terjangkau, dan sekolah untuk anak-anak. Sayangnya, banyak rumah subsidi hanya memenuhi aspek "berdiri dan beratap", tapi melupakan kehidupan di sekelilingnya.
Di titik ini, muncul pertanyaan penting: apakah ekspektasi kita terlalu tinggi, atau justru pembangunan yang terlalu rendah standar?
Kita sadar, rumah subsidi bukan rumah mewah. Tapi subsidi bukan berarti mengorbankan kelayakan. Pemerintah dan pengembang seharusnya tidak hanya bangga soal jumlah unit yang dibangun, tapi juga kualitas hidup yang tercipta. Rumah subsidi bukan proyek angka, tapi proyek masa depan.
Dan kita sebagai calon penghuni pun perlu realistis, tapi tetap kritis. Jangan sekadar "yang penting punya rumah", tapi berani bertanya: rumah seperti apa yang pantas untuk saya dan keluarga?
Karena sejatinya, rumah idaman itu bukan tentang megahnya bangunan, tapi damainya perasaan saat menutup pintu dan berkata, "Ini rumahku."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI