Dua puluh tujuh tahun setelah reformasi bergulir, semangat desentralisasi yang dahulu diagung-agungkan masih belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Ide besar di balik otonomi daerah---yakni mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, meningkatkan efisiensi birokrasi, dan menggali potensi lokal---ternyata belum sepenuhnya terwujud. Indonesia kini terdiri atas 38 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota. Jumlah itu meningkat tajam dibanding kondisi sebelum reformasi tahun 1999, ketika Indonesia hanya memiliki 26 provinsi, 234 kabupaten, dan 59 kota. Namun, apakah penambahan daerah otonom baru (DOB) benar-benar berdampak positif?
Evaluasi Kinerja: Mayoritas Masih Sedang dan Rendah
Kementerian Dalam Negeri dalam evaluasinya menyampaikan bahwa sebagian besar daerah hasil pemekaran justru menunjukkan kinerja pemerintahan yang biasa-biasa saja. Bahkan, beberapa daerah mendapatkan penilaian kinerja "rendah" dan "sangat rendah." Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya menyebutkan bahwa dari delapan provinsi hasil pemekaran hingga 2022, hanya dua provinsi---Banten dan Kepulauan Riau---yang mampu bersaing dengan daerah induknya.
Sebaliknya, provinsi lain seperti Bangka Belitung, Gorontalo, Sulawesi Barat, Kalimantan Utara, dan Maluku Utara hanya mencapai kategori "sedang." Papua Barat bahkan masuk kategori "rendah." Hal serupa terjadi pada kabupaten hasil pemekaran; tidak satu pun mencapai kategori "tinggi." Ini menjadi indikator bahwa tujuan reformasi untuk memperkuat daerah belum berjalan optimal.
Masalah Utama: Minimnya Kemandirian Fiskal
Salah satu sebab utama stagnasi kinerja DOB adalah ketiadaan kemandirian fiskal. Banyak daerah belum bisa berdiri di atas kaki sendiri secara keuangan dan masih menggantungkan sebagian besar anggaran pada dana transfer dari pemerintah pusat. Menurut Bima Arya, kemandirian fiskal adalah jantung dari otonomi daerah. Tanpa kemampuan membiayai urusan rumah tangga sendiri, semangat desentralisasi hanya menjadi slogan kosong.
Guru Besar IPDN Djohermansyah Djohan menambahkan bahwa ketergantungan tinggi pada dana pusat merupakan anomali dalam sistem otonomi daerah. "Ada daerah yang 90 persen pembiayaannya berasal dari dana transfer pusat. Itu jelas tidak sehat," ujarnya. Ia mencontohkan kondisi tahun 2025 ini, ketika pemerintah pusat memutuskan melakukan efisiensi dan memangkas transfer dana daerah hingga Rp 50 triliun. Dampaknya langsung terasa: daerah kesulitan membayar gaji ASN, memperbaiki infrastruktur, hingga menyelenggarakan pelayanan publik dasar.
Ancaman Resentralisasi: Desentralisasi Kehilangan Makna
Situasi ini bahkan membawa kekhawatiran akan kembalinya sentralisme. Ketika daerah tak punya cukup dana, maka mereka akan menyesuaikan program dan anggaran mengikuti keinginan pusat. Alih-alih mengatur urusan sesuai dengan kebutuhan lokal, pemerintah daerah akhirnya menjadi pelaksana instruksi pusat. Djohermansyah menyebut, "Daerah-daerah ini akhirnya didikte oleh pusat. Pemerintah pusat menentukan program, alokasi, dan sasaran. Ini bukan lagi otonomi, tapi subordinasi."
Padahal, dalam konsep klasik otonomi, dikenal adagium: the closer government to people, the better services. Semakin dekat pemerintah kepada rakyat, semakin efektif dan efisien pula pelayanan yang diberikan. Namun, kondisi di lapangan menunjukkan sebaliknya. Banyak DOB yang terbentuk tanpa kesiapan administratif, SDM, dan fiskal yang memadai. Akibatnya, pelayanan publik justru semakin terfragmentasi dan kualitasnya menurun.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!