Wakil Ketua DPRD Jawa Barat meminta Gubernur dan Dinas Pendidikan turun tangan menyelidiki pungutan Rp5,5 juta per siswa yang dinilai menyalahi aturan sekolah negeri.
Kasus dugaan pungutan liar (pungli) kembali mencuat di lingkungan pendidikan negeri. Kali ini sorotan tertuju pada SMK Negeri 13 Bandung, setelah Wakil Ketua DPRD Jawa Barat, Ono Surono, mengungkap adanya laporan wali murid terkait "sumbangan" Rp5,5 juta per siswa untuk murid kelas 11. Meskipun disebut sumbangan, praktik ini memantik tanda tanya besar: apakah sumbangan yang bersifat wajib masih pantas disebut sumbangan?
Dalam pernyataannya kepada media, Ono menyebut bahwa laporan baru datang dari satu wali murid, yang diduga menjadi representasi dari keresahan banyak orang tua lain yang belum berani bersuara. Ini membuka pertanyaan lebih dalam mengenai transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana pendidikan di sekolah negeri, serta posisi komite sekolah yang kerap berada di zona abu-abu antara mitra sekolah dan pemungut dana.
Komite Sekolah: Mitra atau Pemungut Dana?
Komite sekolah seharusnya menjadi jembatan komunikasi antara orang tua siswa dan pihak sekolah. Namun dalam praktiknya, tak jarang peran ini melebar menjadi badan semi-formal yang menggalang dana dari orang tua untuk berbagai keperluan, mulai dari pembangunan fasilitas, kegiatan ekstrakurikuler, hingga study tour.
Padahal, regulasi pendidikan jelas menyatakan bahwa sekolah negeri tidak diperkenankan memungut dana dari siswa untuk kebutuhan operasional sekolah. Biaya tersebut sudah dialokasikan dari APBN dan APBD, terutama melalui dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dan bantuan keuangan daerah lainnya.
Ono secara tegas menyebutkan bahwa dugaan pungutan ini bukan hanya terjadi di kelas 11, tetapi juga berpotensi dilakukan terhadap kelas 10 dan 12. "Ini bukan lagi sumbangan kalau diberlakukan ke semua siswa. Itu sudah pungutan, dan itu melanggar aturan," ujarnya.
Kurangnya Transparansi, Suburnya Kecurigaan
Poin krusial dalam dugaan pungli ini adalah ketidakjelasan penggunaan dana. Hingga kini, tidak ada penjelasan rinci dari pihak sekolah maupun komite mengenai untuk apa Rp5,5 juta itu digunakan. Apakah untuk renovasi bangunan? Kegiatan tahunan? Atau biaya lain yang tidak dicantumkan dalam laporan resmi keuangan sekolah?
Di sinilah pentingnya transparansi anggaran pendidikan. Tanpa kejelasan, publik akan terus curiga dan merasa keberatan, bahkan jika penggalangan dana tersebut diniatkan untuk tujuan positif. Masyarakat berhak tahu ke mana aliran dana pendidikan digunakan, apalagi di sekolah negeri yang seharusnya menjamin akses pendidikan gratis dan inklusif.