Sistem pendidikan Indonesia, khususnya di jenjang SMA, belakangan ini seakan-akan menjadi panggung sandiwara kebingungan.Â
Bukan hanya siswa yang merasa terombang-ambing, tetapi juga para guru dan sekolah, bahkan orang tua pun ikut merasakan dampaknya.Â
Pernyataan "Masih banyak yang bingung. Siswa juga bingung. Sekolah juga bingung. Bertambah waktu, bingung mulai berkurang. Kemudian mau ada penjurusan lagi di SMA. Bingung lagi. Banyak yang gelisah," merupakan refleksi nyata dari keresahan yang melanda banyak pihak.
Kebingungan ini bukanlah fenomena baru.Â
Perubahan kebijakan yang terlalu cepat dan seringkali tanpa evaluasi menyeluruh menjadi biang keladinya.Â
Bayangkan, siswa baru saja beradaptasi dengan satu sistem, tiba-tiba muncul kebijakan baru yang mengubah segalanya.Â
Sekolah, yang seharusnya menjadi tempat pembelajaran yang kondusif, malah terbebani oleh tuntutan adaptasi yang terus-menerus.Â
Kurikulum berubah, metode pembelajaran berubah, dan sistem penilaian pun berubah.Â
Akibatnya, proses pembelajaran menjadi terganggu, dan siswa kesulitan untuk mencapai potensi maksimal mereka.
Penambahan penjurusan di SMA, meskipun bertujuan mulia untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan kesesuaian minat siswa, justru menambah beban kebingungan.Â