Mengapa interleaving dianggap sebagai cara cerdas untuk mengajar dan belajar? Pertanyaan ini seolah sederhana, namun jawabannya mengandung refleksi yang mendalam tentang bagaimana manusia menyerap, mengolah, dan mengingat pengetahuan. Dalam praktik pembelajaran sehari-hari, baik di ruang kelas maupun dalam proses belajar mandiri, kita sering tergoda untuk menekuni satu topik sampai tuntas sebelum beranjak ke topik lain. Misalnya, seorang siswa matematika akan menghabiskan seluruh waktunya mengerjakan soal pecahan sebelum pindah ke persamaan linear.
Atau seorang mahasiswa psikologi akan membaca seluruh bab tentang memori sebelum melanjutkan ke bab tentang motivasi. Pola ini tampak logis: fokus pada satu hal, selesaikan, baru pindah. Namun, penelitian kognitif justru menunjukkan bahwa pendekatan semacam ini sering kali membuat pemahaman terasa dangkal dan daya ingat cepat memudar. Sebaliknya, mencampur topik atau strategi belajar yang dikenal dengan istilah interleaving, ternyata jauh lebih efektif dalam jangka panjang.
Interleaving bukan sekadar metode teknis, melainkan sebuah cara berpikir tentang belajar itu sendiri. Intinya sederhana: daripada mengulang-ulang topik yang sama, siswa mencampurkan berbagai jenis materi atau keterampilan dalam satu sesi belajar. Seorang pelajar bahasa, misalnya, tidak hanya berlatih kosakata sehari penuh, lalu tata bahasa keesokan harinya. Ia bisa mengombinasikan membaca teks, menulis kalimat, mendengarkan percakapan, dan mempraktikkan percakapan lisan dalam satu sesi.
Seorang atlet pun tidak melulu melatih satu jenis pukulan, melainkan bergantian antara servis, smash, dan pertahanan. Dengan cara ini, otak dipaksa untuk terus beradaptasi, menata ulang informasi, serta menarik keterampilan yang berbeda pada momen yang tak terduga. Justru dalam ketidaknyamanan itulah otak belajar lebih dalam.
Ada sebuah paradoks dalam interleaving. Saat sedang dijalani, metode ini terasa lebih sulit dan membuat pembelajar seolah tidak berkembang dengan cepat. Bayangkan seorang siswa yang berlatih mengerjakan soal matematika dengan pola campuran: satu soal pecahan, lalu satu soal geometri, dilanjutkan dengan aljabar, kemudian kembali ke pecahan. Dibandingkan dengan mengerjakan 20 soal pecahan sekaligus, tentu terasa lebih berat dan membingungkan.
Kesulitan itu sebenarnya tanda bahwa otak sedang bekerja keras membangun jalur ingatan yang lebih kokoh. Ketika kemudian dihadapkan pada ujian nyata, siswa yang berlatih dengan interleaving biasanya lebih mampu mengingat strategi yang tepat karena telah terbiasa menyeleksi informasi yang relevan di tengah keragaman konteks.
Interleaving juga mengajarkan fleksibilitas berpikir. Dalam kehidupan nyata, masalah jarang datang dalam bentuk yang teratur atau terkotak-kotak. Seorang dokter tidak hanya menghadapi pasien dengan satu gejala sederhana, melainkan kombinasi keluhan yang kompleks. Seorang insinyur tidak cukup menguasai satu rumus, tetapi harus menimbang banyak variabel sekaligus.
Dengan mencampur topik saat belajar, kita melatih kemampuan menghubungkan konsep yang berbeda, melihat pola di antara variasi, dan memilih strategi yang paling sesuai. Interleaving, dengan demikian, bukan sekadar soal efisiensi belajar, melainkan juga latihan menghadapi realitas dunia yang penuh kompleksitas.
Penting pula disadari bahwa interleaving bukan berarti acak tanpa arah. Ada seni dalam menyusun campuran topik agar tetap produktif. Guru, misalnya, perlu merancang kombinasi materi yang saling berkaitan sehingga siswa tidak merasa kebingungan total. Menggabungkan aljabar dengan geometri, atau tata bahasa dengan latihan percakapan, akan lebih bermakna dibandingkan mengombinasikan hal-hal yang benar-benar tak berhubungan. Interleaving menuntut keseimbangan antara variasi dan keterhubungan, sehingga justru mendorong lahirnya pemahaman yang lebih menyeluruh.
Dalam refleksi yang lebih luas, interleaving mengingatkan kita bahwa belajar sejatinya bukan tentang menumpuk informasi, melainkan tentang melatih pikiran untuk lentur, tangguh, dan siap menghadapi kejutan. Cara belajar tradisional yang linear memberi rasa nyaman karena jelas urutannya, tetapi sering kali menciptakan ilusi penguasaan. Kita merasa pintar saat bisa mengerjakan serangkaian soal yang serupa, padahal sesungguhnya kita hanya sedang menghafal pola.