Mohon tunggu...
Abdul Haris
Abdul Haris Mohon Tunggu... Bankir - Menulis Untuk Berbagi

Berbagi pemikiran lewat tulisan. Bertukar pengetahuan dengan tulisan. Mengurangi lisan menambah tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hargai Waktu, Lembur Belum Tentu Kerja Keras

18 Februari 2016   03:29 Diperbarui: 18 Februari 2016   03:48 769
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seorang karyawan, sebut saja X, menghela nafas saat membaca undangan rapat yang diterima melalui surelnya (e-mail). “Wah lagi-lagi rapat” desahnya. Keengganan tersebut tidak hanya terjadi pada X tetapi juga sebagian besar rekan se-tim nya. Keluhan mereka hampir sama, yaitu rapat tersebut biasanya akan memakan waktu kerja setidaknya 3 jam. Akibatnya, kerja lembur sering dilakukan sebagai konsekuensi dari waktu yang tersita itu. Tambahan lagi, kegiatan itu sudah menjadi jadwal rutin di kantor mereka, minimal seminggu sekali dilakukan meeting marathon semacam itu. Hal lain yang membuat mereka gerah adalah proses rapat yang sering kali tidak to the point, obrolan ngalor ngidul di luar isu utama rapat, dan hasil rapat yang tidak jelas.

Keyword dari kasus di atas adalah lembur. Memang, lembur bukan sesuatu yang buruk. Dalam kondisi tertentu, misal beban pekerjaan yang sangat tinggi, target yang harus dicapai dengan batasan waktu, atau deadline yang tidak bisa dikompromikan lagi, mengharuskan karyawan kerja over time. Itu semua tidak menjadi masalah kalau seluruh proses kerja dari awal telah dilakukan secara efektif dan efisien sesuai standar prosedur kerja. Jika akhirnya masih memerlukan ekstra waktu untuk menyelesaikan pekerjaan, itu konsekuensi yang tidak bisa dihindarkan, sudah seharusnya dilakukan.

Tetapi, dalam lingkungan kerja tertentu yang memiliki beban tugas yang semestinya bisa diselesaikan dalam takaran waktu kerja normal, para karyawannya masih juga melakukan lembur. Nah, dalam kondisi seperti itulah kita perlu melakukan evaluasi atas waktu kerja lebih tersebut. Mungkin saja pemanfaatan waktu kerja tidak efektif. Seperti dalam kasus di awal tulisan ini, seringkali kita tidak menyadari bahwa waktu kerja teralokasikan untuk sesuatu yang tidak produktif, misalnya rapat yang terlalu sering, lama, dan tanpa kejelasan tujuan dan hasil akhirnya. Untuk tipe karyawan pekerja dan sangat memperhatikan penggunaan waktu, rapat semacam itu tentu sangat mengganggu. Tetapi, patut diakui, ada pula tipe karyawan yang mudah terlena dalam keasyikan diskusi panjang tak berujung. Untuk kategori karyawan seperti itu, rapat panjang malah menjadi sarana paling bagus untuk ‘melarikan diri’ dari pekerjaannya (moga-moga Kompasianer ga ada yang seperti ini).

Selain rapat tak produktif, aktivitas sepele seperti ngobrol tak bermanfaat cukup menyita waktu produktif juga. Benar, bahwa dalam bekerja kita membutuhkan komunikasi yang baik dengan rekan-rekan kita. Namun, jika obrolan yang dimaksudkan sekedar iseng ini dilakukan secara berlebihan yang terjadi justru tercipta kebiasaan membuang waktu dan menyepelekan pentingnya target waktu penyelesaian pekerjaan. Hal itu potensi terjadi pada lingkungan kerja yang memiliki pola pengawasan atasan yang lemah dan tidak adanya ketegasan sanksi atas keterlambatan penyelesaian pekerjaan sesuatu target waktu yang ditentukan. Sebenarnya masih banyak perilaku tidak produktif lain yang menyebabkan seseorang akhirnya bekerja lembur, kompasianer pasti sering menemuinya dalam pengalaman kerja sehari-hari.

Insentif uang lembur yang pada awalnya ditujukan sebagai penghargaan atas kerja lebih yang dilakukan berpotensi disalahgunakan oleh oknum karyawan. Oknum tersebut sengja mengulur-ulur waktu kerja dengan berbagai dalih untuk sekedar mengejar tambahan upah lembur itu. Sekali lagi, pengawasan dari perusahaan mutlak diperlukan untuk mengetahui haktivitas lembur yang dilakukan karyawannya.

O iya maaf, dari tadi terkesan karyawan terus yang salah ya. Dari sisi perusahaan perlu ada perhatian juga mengenai keseimbangan antara beban pekerjaan dengan ketersediaan sumber daya manusianya. Jangan sampai, hanya karena alasan penekanan beban upah dengan tetap memasang target kerja tinggi, perusahaan enggan melakukan penambahan karyawan dan justru melakukan eksploitasi berlebihan terhadap karyawan yang terbatas. Ingat, karyawan adalah manusia biasa, bukan robot. Mereka mempunyai batas kemampuan kerja dan emosi yang perlu dijaga.

Lembur dan Produktivitas

Apakah lembur ini selalu identik dengan produktif? Belum tentu. Apabila lembur tersebut sebagai konsekuensi dari kegiatan-kegiatan tak bermanfaat seperti saya contohkan sebelumnya maka produktivitas kerja perlu dipertanyakan kembali. Produktivitas menurut saya tidak cukup diukur dari hasil pekerjaan yang telah dicapai, tetapi juga seberapa besar pengorbanan yang diberikan dibandingkan dengan hasil kerja yang dihasilkan. Banyak pengorbanan yang diberikan karena lembur ini. Pengorbanan waktu, karyawan menghabiskan waktu terlalu banyak di kantor sehingga kehilangan waktu berharga dengan keluarga, komunikasi dengan pasangan dan anak-anak menjadi sangat minim, dan tidak kurangnya kesempatan bersosialisasi di luar lingkungan pekerjaan. Pengorbanan biaya, ketika lembur maka perusahaan akan terbebani dengan biaya operasional yang cukup besar, misalnya listrik karena AC dan lampu serta beban upah lembur yang tinggi. Hal itu tidak dapat dianggap sepele karena kita haru berhitung pula apakah hasil dari lembur karyawan sebanding dengan biaya operasional yang harus dibebankan? Berikutnya, pengorbanan kesehatan. Lembur yang dilakukan secara berlebihan dapat mempengaruhi pola hidup sehat kita, sepert istirahat menjadi berkurang, olahraga terabaikan, dan stress yang tak terkendalikan. Jika pada akhirnya karyawan sakit dan tidak dapat bekerja dalam waktu tertentu, tidak hanya karyawan dan keluarganya yang akan merugi, perusahaanpun harus mengalokasikan biaya kesehatan yang lebih tinggi pula. Pengorbanan energi, bekerja hingga larut malam cukup menguras energi karyawan. Dalam kondisi tersebut, sulit bagi banyak karyawan untuk mencapai kinerja terbaiknya. Akibatnya, hasil pekerjaan menjadi tidak optimal, kualitas berkurang, banyak kesalahan-kesalahan yang ujung-ujungnya atasan harus menghabiskan waktu untuk mengoreksinya.     

Selain berbagai pengorbanan itu, lembur yang berlebihan dapat memicu kejenuhan karyawan terhadap pekerjaannya. Karena jenuh, karyawan lama-kelamaan menjadi bosan, demotivasi, hingga kehilangan passion dalam bekerja. Akhirnya, karyawan tidak lagi menikmati pekerjaannya sehingga selain stress produktivitas juga akan menurun.

Menyimpulkan pemaparan saya, lembur bukan sesuatu yang buruk, untuk memperoleh pencapaian kerja di atas rata-rata memang seringkali lembur diperlukan. Tetapi ada baiknya, sebelum lembur, karyawan perlu mempertimbangkan hal-hal lain di luar pekerjaannya. Perlu diingat, pekerjaan memang bagian penting dalam hidup kita, tetapi kita juga mempunyai sisi kehidupan lain seperti kehidupan pribadi, keluarga, sosial kemasyarakatan, dll yang tidak bijak apabila diabaikan. Waktu hidup kita sangat terbatas. Waktu merupakan sumber daya paling berharga yang tak terbarukan. Sedetik terlewat tidak mungkin kembali lagi. Bijaksana dalam memanfaatkan waktu tidak dapat ditawar lagi.  Work life balance akan tercapai saat kita mampu menghargai waktu.

Salam Kompasiana.     

         

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun