Mohon tunggu...
Harison Haris
Harison Haris Mohon Tunggu... Freelancer - Lahir dan besar di Jepara dan Jakarta. Mantan pemain bola amatiran, sempat jadi wartawan olahraga dan sekarang tinggal di Depok. Menyukai dan meminati banyak hal, tapi baru bisa melakukan sedikit hal.

Lahir dan besar di Jepara. Mantan pemain bola amatiran, sempat jadi wartawan olahraga dan sekarang tinggal di Depok. Menyukai dan meminati banyak hal, tapi baru bisa melakukan sedikit hal.

Selanjutnya

Tutup

Gadget

Mengapa Startup Unicorn Tidak Muncul di Yogyakarta?

26 Januari 2019   15:28 Diperbarui: 5 Januari 2020   22:20 641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sampai saat ini, sudah ada 4 startup unicorn di Indonesia : Gojek, Traveloka, Bukalapak dan Tokopedia. Semua perusahaan itu hampir-hampir tidak ada bau "Jogja"-nya.

Seperti kita tahu, perusahaan unicorn adalah perusahaan yang punya valuasi USD 1 Milyar atau sekitar 14 trilyun koma sekian (tergantung kurs).  Dari keempat perusahaan unicorn itu, hanya Gojek yang hampir menyentuh status Decacorn (valuasi USD 10 Milyar).

Mari kita bedah satu-satu perusahaan itu genealogi para tokoh kunci dan ekosistemnya. Pertama Gojek. Dia didirikan oleh Nadiem Makariem --anak dari Nono Anwar Makarim, ahli hukum papan atas. Nadiem tidak ujug-ujug berada di Harvard. Dia sempat menyelesaikan S-1 di Brown University. Tidak kebetulan juga dia di Harvard, sebab keluarganya memang akrab dengan univeristas itu.

Tahun 70-an, ayahnya sudah mendapat kesempatan untuk menjadi semacam dosen tamu di sana. Saat Nono di Harvard, di universitas elite itu sudah duluan ada Arief Budiman dan Sjahrir (cerita mereka beritga ber-ha-ha-hi-hi di Harvard bisa disimak di Bukunya Arief Budiman : Pengalaman Belajar di Amerika).

Kembali ke Gojek. Tokoh kunci secara teknis di Gojek adalah programmer handal bernama Alamanda Shantika. Wanita ini adalah lulusan Universitas Bina Nusantara (Binus) dan peraih 2 gelar untuk program studi matematika dan TI.

Alamanda bekerja Berrybenka hingga Kartuku. Di Kartuku, Ala (demikian dia dipanggil bertemu dengan Nabiel Makarim yang kerja di sana juga). Ia bercerita, saat itu ia masih bekerja untuk Kartuku sehingga ia memutuskan bergabung ke Gojek pada Mei 2014 sebagai karyawan freelance sebagai konsultan.

Alamanda mengaku ia sudah mulai mengembangkan aplikasi Gojek bersama beberapa orang di dalam timnya. Aplikasi Gojek sejak awal dirancang oleh Alamanda dan tim, mereka semua yang mendesain tampilan antarmuka (user interface/UI) hingga programming.

Dari situ akhirnya ia menguatkan keinginannya dan memutuskan untuk hengkang dari Kartuku. Pada Mei 2015 ia resmi menjadi Vice President of Product. Lalu ia diminta untuk fokus pada divisi teknologi yang membuat jabatannya menjadi VP of Technology dengan tim terdiri dari 130 orang yang bekerja di Jakarta dan Yogyakarta. Singkat kata Gojek pun sekarang jadi legenda hidup.

Sekarang kita bicara soal Bukalapak dengan tokoh kunci Ahmad Zacky, dia adalah lulusan TI Institut Teknologi Bandung. Sedang untuk Traveloka dua pendirinya Ferry Unardi (S-1 Purdue University dan drop out MBA Harvard) dan Derainto Kusumo adalah lulusan Stanford University. Sedang pendiri Tokopedia adalah William Tanuwijaya jurusan TI.

Kalau kita telaah lebih lanjut rata-rata pendiri perusahaan startup level unicorn ini lulusan luar negeri : Stanford Unveristy dan Harvard. Bila ada membaca buku sejarah Goolge anda akan tahu bagaimana dunia akedemis di Stanford sangat erat berkelindan dengan dunia teknologi informasi (baik secara teknis maupun bisnis) yang berpusat di Silicon Valley. Dua pendiri Google lulusan univeritas ini. Sedang dari Harvard menyumbang Mark Zuckerberg dan Bill Gates (kedunya sama-sama tidak lulus).

Untuk kampus dalam negeri nama Binus dann ITB adalah dua intitusi paling menonjol melahirkan bakat-bakat mencorong di dunia IT. Mereka bukan hanya jago secara teknis tapi juga mampu mengelola secara manajerial sebuah perusahaan Startup.

Lalu di mana peta Yogyakarta dalam pusaran industri startup ini? Masih sebatas menjadi tukang. Anak-anak Jogja (atau lulusan PT di Jogja) masih dijadikan tenaga-tenaga teknis level menengah. Separti yang dilakukan Gojek ketika awal-awal membangun aplikasi.

Lalu kenapa tidak atau belum ada lulusan asal Jogja yang jadi pendiri perusahaan Startup leve unicorn. Bisa jadi, ekosistem usaha indutri digital di Jogja memang belum terbentuk. Yang kedua, barangkali, kurikulum dan ekosistem kampus-kampus di Jogja masih mempersiapkan lulusannya menjadi "karyawan".

Salah satu tokoh masyarakat Yogyakarta Bambang Soepijanto mengingatkan bahwa dunia telah berubah, dan perguruan tinggi di Jogja juga harus mengubah mindset-nya. Sistem pendidikan di Jogja (dan umumnya di Yogyakarta) masih sangat terkotak-kotak dengan batas bernama fakultas. Anak jurusan manajemen yang ingin memperdalam dunia e-commerce akan kesulitan mencari mata kuliah tentang pemrograman atau pembuatan web tingkat dasar. Karena memang di Fakultas Ekonomi tidak disediakan mata kuliah itu.

Pengambilan mata kuliah di luar fakultas yang bersangkutan akan sangat mengalami hambatan birokratis. Inilah yang coba dijebol oleh BINUS yang mempermudah  mahasiwa matematika yang juga ingin belajar pemrograman. Kampus ini menyediakan double-degree untuk kedua jurusan itu.

Di samping itu, BINUS sangat adaptif dalam merespon tuntutan industri. Saat bahkan mereka sudah membuka jurusan Games Application, Mobile Application dan Cyber Security. Bandingkan dengan univeritas terbaik di Yogya (sebut saja UGM) yang bahkan belum punya jurusan khusus di bidang IT. Bidang IT di UGM masih bergabung dalam satu jurusan dengan Departemen Teknik Elektro, di bawah Fakultas Teknik.

Univeritas Indonesia sudah berinisiatif mendirikan Fakultas Ilmu Komputer, lepas dari Fakultas Teknik. Sedang di ITB, TI memang masih bersatu dengan Teknik Elektro, tapi statusnya sudah bukan jurusan/departemen tapi sudah fakultas.

 UGM dan perguruan tinggi di Yogyakarta memang harus berbenah. Ilmu computer hari ini adalah lokomotif perkembangan zaman. Agak aneh kalau  menempatkan ilmu itu dalam lingkup yang sempit. Apalagi bila jurusan / fakultas ilmu komputer di bawah koordinasi Dekan yang tidak berasal atau memiliki displin ilmu computer. Sudah pasti imu computer di kampus itu akan ketinggalan.

Paling tidak, hari ini, kita melihat Yogyakarta ketinggalan jauh dari Jakarta, Depok dan Bandung. Tidak usah kita membandingkan dengan Harvrad atau Stanford. Dan gambaran di atas sdikit banyak bisa menejlaskan : kenapa tidak lahir startup berbasis TI dari Yogyakarta dengan skala unicorn.

BACA JUGA

Kapan Sinyal 5G Masuk Yogyakarta? 

Siapa Pemain Asing Yang Akan Dibeli PSS Sleman?

Bambang Soepijanto Calon DPD Dapil Jogja Paling Jujur?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun