Pierre Bordieu dalam bukunya Homo Academicus (1988) berpendapat bahwa manusia pada masa kini tidak hanya melakukan kegiatan investasi saham dalam bentuk material, tetapi juga symbolic capital. Ini adalah jenis kapital yang terdiri dari simbol-simbol yang sarat makna dan kepentingan, salah satunya pendidikan.
Lembaga sekolah menjadi medium yang empuk untuk mendongkrak status sosial. Dengan bersekolah, harapan untuk mengubah nasib dapat terwujud.
Seorang sarjana dipra-asumsikan memiliki kompetensi dalam bidangnya. Kompetensi yang terlembagakan dalam bentuk ijazah itu dapat menjadi amusi ampuh untuk mendapatkan pekerjaan, penghasilan, dan akhirnya status sosial.
Problemnya kemudian ada semacam kecenderungan para pelajar atau siswa, sekolah melulu demi mendapatkan ijazah dengan cara apapun, termasuk mengkhianati esensi belajar. Ijazah diburu dengan cepat, instan, mudah dan murah plus tanpa repot belajar.
Hal ini tentu menghilangkan karakter dasar pembelajar sebagai insan akademik. Keluarnya ijazah palsu menjadi bukti konkret yang menggambarkan problem tersebut.
Praktik pemalsuan ijazah semakin berkembang dan tersebar di semua lini pendidikan, mulai pendidikan tinggi, sampai kursus dan sertifikasi keahlian dengan modus yang beralih dalam jaringan online.
Pergeseran tujuan pendidikan dan kepentingan keilmuan pengetahuan menjadi hanya sebatas untuk mendapatkan gelar akademik adalah penyakit sosial. Masyarakat yang terhinggapi penyakit ini berorientasi mendapatkan gelar yang prestisius sebagai modal simbolik untuk menaikkan gengsi, meraih jabatan atau merengkuh kekuasaan.
Orientasi ini begitu bertentangan dari tujuan pendidikan. Mereka adalah masyarakat kredensial, gejala yang dialami oleh negara-negara berkembang di dunia ini adalah jalan kredensialisme. Patologi sosial yang menjadikan legalitas dan formalitas sebagai sebuah supremasi tertinggi dalam kehidupan.
Generasi kredensial ini lebih mementingkan apa yang dicapai, bukan proses dan apa yang harus dilakukan guna mencapai tujuan itu. Pola pikirnya cenderung instan, shorcut, dan tergesa-gesa. Kredensialisme melahirkan budaya glamour yang palsu dan mampu membunuh kesejatian kebudayaan, dan bahkan manusia itu sendiri.
Untuk mengatasi problem ini, ada beberapa hal urgen yang perlu dilakukan, setidaknya oleh kementerian terkait.Â
Pertama, mengandeng pihak kepolisian untuk menegakkan hukum dalam memberantas segala bentuk pembuatan atau pemberian ijazah palsu.