Mohon tunggu...
Haris Fauzi
Haris Fauzi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembelajar

Penyuka Kajian Keislaman dan Humaniora || Penikmat anime One Piece.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kala Pendidikan Hanya Berorientasi Gelar

5 Juni 2020   06:22 Diperbarui: 9 Juni 2020   14:06 2709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: iStockPhoto)

Pierre Bordieu dalam bukunya Homo Academicus (1988) berpendapat bahwa manusia pada masa kini tidak hanya melakukan kegiatan investasi saham dalam bentuk material, tetapi juga symbolic capital. Ini adalah jenis kapital yang terdiri dari simbol-simbol yang sarat makna dan kepentingan, salah satunya pendidikan.

Lembaga sekolah menjadi medium yang empuk untuk mendongkrak status sosial. Dengan bersekolah, harapan untuk mengubah nasib dapat terwujud.

Seorang sarjana dipra-asumsikan memiliki kompetensi dalam bidangnya. Kompetensi yang terlembagakan dalam bentuk ijazah itu dapat menjadi amusi ampuh untuk mendapatkan pekerjaan, penghasilan, dan akhirnya status sosial.

Problemnya kemudian ada semacam kecenderungan para pelajar atau siswa, sekolah melulu demi mendapatkan ijazah dengan cara apapun, termasuk mengkhianati esensi belajar. Ijazah diburu dengan cepat, instan, mudah dan murah plus tanpa repot belajar.

Hal ini tentu menghilangkan karakter dasar pembelajar sebagai insan akademik. Keluarnya ijazah palsu menjadi bukti konkret yang menggambarkan problem tersebut.

Praktik pemalsuan ijazah semakin berkembang dan tersebar di semua lini pendidikan, mulai pendidikan tinggi, sampai kursus dan sertifikasi keahlian dengan modus yang beralih dalam jaringan online.

Pergeseran tujuan pendidikan dan kepentingan keilmuan pengetahuan menjadi hanya sebatas untuk mendapatkan gelar akademik adalah penyakit sosial. Masyarakat yang terhinggapi penyakit ini berorientasi mendapatkan gelar yang prestisius sebagai modal simbolik untuk menaikkan gengsi, meraih jabatan atau merengkuh kekuasaan.

Orientasi ini begitu bertentangan dari tujuan pendidikan. Mereka adalah masyarakat kredensial, gejala yang dialami oleh negara-negara berkembang di dunia ini adalah jalan kredensialisme. Patologi sosial yang menjadikan legalitas dan formalitas sebagai sebuah supremasi tertinggi dalam kehidupan.

Generasi kredensial ini lebih mementingkan apa yang dicapai, bukan proses dan apa yang harus dilakukan guna mencapai tujuan itu. Pola pikirnya cenderung instan, shorcut, dan tergesa-gesa. Kredensialisme melahirkan budaya glamour yang palsu dan mampu membunuh kesejatian kebudayaan, dan bahkan manusia itu sendiri.

Untuk mengatasi problem ini, ada beberapa hal urgen yang perlu dilakukan, setidaknya oleh kementerian terkait. 

Pertama, mengandeng pihak kepolisian untuk menegakkan hukum dalam memberantas segala bentuk pembuatan atau pemberian ijazah palsu.

Sayang seribu sayang tindakan tegas dari kementerian terkait dan kepolisian belum begitu santer terdengar. Padahal praktik kejahatan akademik ini yang membunuh jati diri dari insan akademik. Hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja karena merusak bangsa ini. 

Kedua, musti menciptakan jalinan sinergis antara pelbagai instasi untuk membantu mengusut aparatur negera yang patut diduga menggunakan ijazah palsu atau terlibat dalam pemalsuan kompetensi ini. 

Ketiga, memberhentikan seluruh kesarjanaan tingkat apapun yang diperoleh dengan cara curang memalsukan ijazah. Tindakan ini tentu membuka kemunafikan dan kepalsuan berbagai gelar. Titel bahkan jabatan kehormatan.

Para pemilik gelar palsu telah mendustai diri sendiri, bangsa dan sejarah. Mereka tidak lebih baik dari koruptor karena hidup diatas manipulasi. Jangan biarkan mereka tampil, berselfi atau tersenyum di baliho pemilihan umum.

Kuliah ~ Dokumen Pribadi Penulis
Kuliah ~ Dokumen Pribadi Penulis

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun