Lantunan surat Yasin menggema dalam rumahku. Beberapa tetangga sahut-sahutan membacanya di sekeliling tubuh istriku yang telah terbujur kaku. Aku duduk diam sendiri bersandar pada tembok. Tepat di depanku para tetangga mengelilingi istriku. Aku seakan tak memperdulikan mereka. Ayat-ayat yang mereka baca pun seperti hanya berlalu saja di telingaku. Tubuhku sekarang memang ada di sini. Namun pikiranku entah kemana. Otakku masih dipenuhi bayangan istriku. Aku masih belum sepenuhnya percaya. Rasanya baru kemarin aku melihat wajahnya berseri-seri dibalut gaun pengantin. Cantik sekali. Sekarang tubuhnya telah terbungkus kain kafan. Wajahnya pucat seperti kertas.
Tanpa kusadari, air mata telah menetes ke pipiku. Kusapu air mataku dengan kedua telapak tanganku. Kuputar pandanganku. Beberapa tetangga masih membacakan surat Yasin. Aku beranjak dari dudukku dan berjalan keluar. Di luar rumah, beberapa tetangga juga telah banyak berkumpul. Walaupun hubunganku dengan tetangga kurang baik, mereka tetap mau datang melayat. Beberapa orang memandangku dengan tatapan sinis sambil membisikkan sesuatu. Aku tahu mereka sedang membicarakan diriku. Aku juga tahu apa yang mereka bicarakan tentang diriku. Aku tak meperdulikannya. Tatapan sinis dan omongan-omongan warga tentangku sudah menjadi makanan sehari-hariku sejak aku menikah dengan Rani, istriku.
“Semua gara-gara kamu!!!” Seseorang mendorongku dari belakang, aku yang tidak siap langsung jatuh terjungkal. Orang itu menghampiriku dan mengayunkan tangan kanannya berkali-kali ke wajahku. Aku hanya melindungi wajahku dengan kedua tanganku tanpa berusaha melawan.
“Bu, sudah bu, sudah!” Suaminya datang menghampiri dan menenangkannya. Dengan bantuan beberapa orang, dia berhasil menjauhkan istrinya dari hadapanku.
“Sudah bu, sudah”
“Semua gara-gara kamu!” Wanita itu masih terus mengumpatku “Kalau, Rani tidak kawin dengan kamu, dia tidak akan mati secepat ini!” Air matanya mengalir deras. Sorot wajahnya menyiratkan kemarahan yang besar padaku. Aku pasrah dan menampung semua kemarahannya.
Dia adalah ibu mertuaku. Sejak awal dia memang tidak pernah setuju Rani menikah denganku. Rani adalah anak tunggalnya. Aku tahu dia pasti sangat kehilangan. Sejak kemarin dia terus menangis dan sering pingsan.
“Sudah nak, nggak papa” Pak Hadi menepuk pundakku. Aku hanya mengangguk saja. Berbeda dengan istrinya, beliau bisa lebih legowo dan tabah. Padahal beliau juga kehilangan anak tunggalnya. Aku beruntung mempunyai mertua seperti beliau. Hanya beliau yang setuju dan mendukung pernikahanku dengan Rani. Padahal seluruh anggota keluarga tidak ada yang setuju.
Banyak orang yang bilang kalau pernikahan kami memang tidak wajar. Dianggap tidak wajar karena kami melanggar kepercayaan waru doyong. Entah bagaimana asal usul kepercayaan ini, namun kepercayaan ini telah mengakar di masyarakat, terutama orang-orang Jawa. Mereka begitu mengimaninya walaupun tidak ada dalil yang bisa dijadikan dasar. Tapi entah mengapa, beberapa kejadian yang terjadi seperti mengisyaratkan kebenaran kepercayaan itu. Beberapa orang telah mengalaminya, pasangan yang melanggar waru doyong tersebut, salah satunya meninggal tidak lama setelah pernikahannya. Meninggalnya pun seperti tidak wajar, kadang kecelakaan atau terkena penyakit langka. Mungkin ada benarnya juga kalau kepercayaan 40 orang awam sama seperti do’anya satu orang wali.
Biarpun begitu, aku dan Rani tidak memperdulikannya. Aku dan Rani tetap nekat melanjutkan hubungan. Aku telah berpacaran dengan Rani selama dua tahun dan ingin mengakhirinya dengan ikatan pernikahan. Ketika kami sampaikan niat kami untuk menikah, tentangan pun datang dari mana-mana. Tidak hanya dari keluarga, tokoh masyarakat dan sesepuh desa pun ikut menentang rencana tersebut. Biarpun ditentang, kami seakan tidak memperdulikannya. Kami tetap melanjutkan hubungan walaupun keluarga meminta kami untuk berpisah.
Akhirnya, berkat kegigihan kami, kami berhasil mendapatkan restu dari keluarga.
“Jika kalian tidak merestui aku akan tetap menikah dengan Rani!” ancamku pada kedua orang tuaku. Itu sebenarnya hanya ancaman saja, karena aku tetap tak akan berani jika tidak mendapat restu dari kedua orang tuaku. Kedua orang tuaku pun merestui walaupun kakekku tetap bersikeras untuk menentangnya. Ayah Rani sudah bisa menerima namun ibunya masih sangat sulit untuk menerima, walaupun akhirnya ibunya mengijinkan juga kami untuk menikah.
Pernikahan pun dilangsungkan. Pernikahan kami tidak begitu meriah, beberapa tokoh masyarakat dan tetangga banyak yang tidak mau hadir walaupun kami telah mengundang mereka. Untungnya beberapa tetangga dekat dan kerabat mau ikut hadir dan ikut mendoakan kami berdua. Kehadiran mereka setidaknya mampu menghapuskan rasa kecewaku pada mereka yang dengan sengaja tidak mau menghadiri undanganku. Senyum dan do’a mereka adalah hadiah terindah di hari pernikahanku.
**********************
Aku masih termenung. Tepat di depanku, sebuah gundukan tanah yang masih basah. Di dalamnya terbaring jasad seorang wanita yang begitu kucintai. Beberapa orang yang tadi ikut mengantar istriku ke peristirahatan terakhirnya berangsur-angsur mulai beranjak pulang. Aku masih duduk bersila, rasanya berat sekali untuk beranjak pergi, walaupun yang ada di depanku sekarang adalah sebuah gundukan tanah.
“Makanya, jangan sok jadi orang terpelajar terus mengabaikan kepercayaan leluhur” Kata seseorang di sebelahku sambil beranjak dari duduknya. Aku tak menghiraukannya, tuduhan semacam itu sudah terlalu biasa masuk ke telingaku. Biarlah mereka mencibirku, menuduhku kualat karena tidak menghormati kepercayaan leluhur, aku tetap tak peduli. Walaupun istriku sekarang memang telah meninggal, aku tetap tak mempercayai waru doyong itu. Bukan karena waru doyong istriku meninggal.
Satu tahun lalu, ketika aku menikahi Rani, aku sudah tahu kalau hidupnya memang takkan lama lagi. Rani mengidap kanker otak dan sudah lumayan akut. Dokter memvonis kalau usianya hanya tinggal enam bulan lagi. Namun vonis dokter salah, Rani masih mampu bertahan hidup sampai satu tahun lamanya. Maha besar Allah yang memberinya kekuatan untuk terus bertahan hidup.
Kini Allah telah mengambil bidadariku. Namun Allah telah memberi gantinya padaku. Allah memberiku bidadari kecil, buah cintaku dengan Rani. Kupandangi wajahnya yang terlelap tenang dalam dekapanku. Aku mengajaknya ikut mengantarkan ibunya ke peristirahatan abadinya. Kasihan dia, hanya satu bulan dia merasakan dekapan hangat ibunya. Dia begitu mirip dengan Rani. Aku menamainya persis seperti nama ibunya, Ayu Maharani.
*Waru Doyong: Sebuah kepercayaan yang masih dipercayai oleh orang-orang jawa. Kepercayaan ini berdasarkan pada letak dua buah desa. Jika jalan yang menghubungkan antara desa A dan desa B ditarik dengan garis membentuk potongan setengah daun waru, maka hal itu dinamakan waru doyong. Antara desa A dan desa B tersebut tidak boleh melangsungkan pernikahan karena jika dilanggar, salah satu dari pasangan akan meninggal tidak lama setelah pernikahan. Biasanya meninggalnya agak kurang wajar. Wallahu a’lam.
Cairo, 220910
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI