Mohon tunggu...
hariadhi
hariadhi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer

Editor, designer, entrepreneur

Selanjutnya

Tutup

Sosok

Sudah Saatnya Wartawan Kompak Memboikot Prabowo

8 November 2018   07:13 Diperbarui: 8 November 2018   07:14 1413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
tangkapan layar dari cuitan @MakDetektif

Prabowo lagi-lagi bikin masalah dengan mulutnya. Baru saja timnya kelimpungan membela setengah mati blundernya di hadapan warga Boyolali, kali ini beredar VIdeo wartawan Jakarta di Kuningan, Jakarta Selatan wartawan disemprot lagi olehnya, dengan mengungkit gaji mereka yang menurutnya "ya...segitu-segitu" aja. 

Setelah sebelumnya sempat minta maaf karena diprotes oleh Asosiasi Jurnalis Indonesia, hal ini terulang lagi pada tanggal 4 November 2018 dalam acara Kopassandi. Padahal entah apa kesalahan yang dilakukan oleh para jurnalis terhadap Prabowo. Ia menyindir bahwa yang datang mendokumentasikan dirinya hanyalah perusuh pemilik media.

Sumber

Prabowo memang sulit berubah, dan memang tak akan berubah. Timsesnya sudah berkali-kali minta maaf atas kelancangan mulut yang bersangkutan. Bahkan sudah malu hati. Terakhir, Ketua Timsesnya sendiri, Djoko Santoso yang menyatakan bahwa Prabowo bisa minta maaf dan selintas lalu memintakan maaf.  "Ya kalau minta maaf, ya maaf aja lah," katanya dengan muka yang agak keberatan, mungkin keberatan malu. 

Djoko Santoso sampai harus mengorbankan integritasnya sebagai mantan militer, dengan membuat cerita bahwa ejekan seperti itu wajar di kalangan tentara. Ya mungkin, bisa jadi, ngelesan itu benar, namun dunia sipil tidak bisa dibandingkan begitu saja dengan sistem yang berlaku di militer, dengan arti tidaklah valid menyalahkan wartawan atas blunder-blunder yang dia lakukan.

Prabowo harusnya menyadari bahwa wartawan dan media hanya menjalankan tugasnya dalam memberitakan setiap aktivitas kampanyenya. Bahwa kemudian dari berita itu muncul kemarahan warga, harusnya ia bisa menyadari bahwa itu adalah kekeliruannya sendiri dalam membuat statement dan pidato. 

Tidak ada pilih kasih dalam kritik yang muncul. Buktinya Jokowi sendiri kadang merasa diserang oleh berbagai berita negatif, namun ia tidak menyalahkan media, malah merangkulnya dan memberinya nasihat yang teduh untuk bersikap objektif, bukan malah mengejek atau mengatakan hal-hal yang tidak pantas dan merendahkan.

Sikap emosional Prabowo bukanlah akibat sikap wartawan atau orang-orang yang memusuhinya. Pada dasarnya memang secara psikis Prabowo terlihat bermasalah. Ia sudah mengakui sendiri bahwa karakternya sejak muda memang pemarah. Ia lalu menjanjikan perubahan. Bahkan sempat keluar slogan "The Real Prabowo". Namun kenyataannya itu tak pernah terjadi.

Ambil kasus Pilpres 2014, Prabowo menyebut Jakarta Post brengsek, lalu menolak wawancara dengan Metro TV, hanya karena Jakarta Post mendeklarasikan dukungan ke Jokowi, lalu Metro TV dianggap tidak adil memberitakan dirinya. Di sisi lain, Jokowi yang sering mendapat berita merugikan dari TV One tidak pernah melakukan hal serupa.

Tidak hanya wartawan, Gus Dur pun tak lepas dari makian Prabowo. Kalau ini kasus lama, saat ia menyatakan kekecewaannya terhadap demokrasi Indonesia kepada Allan Nairn. Menurutnya tak pantas Indonesia punya presiden sekaliber Gus Dur, "Militer pun bahkan tunduk pada presiden buta! Bayangkan! Coba lihat dia, bikin malu saja! .. Lihat Tony Blair, Bush, Putin. Mereka muda, ganteng dan sekarang presiden kita buta!" kata Prabowo menurut catatan Allan Nairn. Sontak seluruh keluarga Wahid mengamuk dan tersinggung. Bukan apa-apa, giliran punya kepentingan politik, kubu Prabowo malah sibuk mengungkit kutipan dari Gus Dur bahwa Prabowo adalah orang paling ikhlas terhadap Indonesia. Prabowo terlihat begitu naif dengan menjilat ludahnya sendiri saat wawancara itu dibuka.

Bahkan lagi lagi, bukan hanya Gus Dur yang merupakan pihak luar yang dipinjam testimoninya, pihak sekutu pun tak luput dari sasaran emosionalnya Prabowo. Tempo pernah mencatat bagaimana marahnya Prabowo saat PPP menyatakan menarik dukungan di Pilpres 2009. Petinggi PPP yang hadir saat itu antara lain Suryadharma Ali, Suharso Monoarfa, Hasrul Azwar, dan Joko Purwanto. PPP menyatakan batalnya dukungan mereka kepada Cawapres Megawati ini. 

Salah seorang informan menyebutkan bahwa telepon seluler dilempar ke arah Suharso Monoarfa, yang sedikit beruntung, "Beruntung Suharso bisa mengelak," kata sumber tersebut. Namun apa lacur, sikap emosional ini kemudian menjadi image seorang Prabowo yang diulang-ulang dan dijadikan lelucon sepanjang masa. Setiap kali ada masalah internal di kubu koalisinya, lawan menertawakan bahwa sedang terjadi bagi-bagi HP gratis dan semua sedang mengantri.

Sumber

Tak hanya ke sekutu, bahkan ke anak buah dan pendukungnya sendiri pun Prabowo gagal menunjukkan kasih sayang. Ada peristiwa emak-emak yang dihardik karena berebut buku saat ia sedang asik berpidato. Lalu kader Gerindra yang dimarahi karena mengajaknya selfie. Bahkan mengajak selfie saja dimarahi! duh...

Sumber

Prabowo berkali-kali menjanjikan perubahan, bahwa Prabowo yang kini lebih tenang, lebih smart, tidak emosional, namun tak pernah sekalipun terlaksana. Ia tak juga berhenti mengejek wartawan tiap kali muncul pemberitaan yang merugikan dirinya. Padahal itulah kerja wartawan, berusaha memberitakan informasi dengan berbagai sudut, sekaligus mengkritisi keadaan, agar masyarakat lebih cerdas.

Maka menantikan kemunculan Prabowo yang tidak emosional, menjadi sama mustahilnya mengharapkan seorang pria berubah. Sangat sulit, bahkan mustahil pria berubah untuk wanita yang dicintainya. Sama sulitnya mengharapkan Prabowo bisa memperbaiki temperamennya.

"Pada 1993 didirikan usaha bersama, dari Kompas, Tempo, Sinar Harapan dulu dan Suara Karya. Ini urusan perusahaan diputuskan ada 4 pemilik tidak ada campur tangan. Ketika editorial mengusung Jokowi-JK itu suatu tradisi. Kami Jakarta Post, mengapa (Prabowo) marah-marah, maki-maki seperti itu?" kata Sabam Siagian saat Jakarta Post dihardik oleh Prabowo. 

Pun Surya Paloh menyatakan keheranannya atas sikap emosional Prabowo,  "Jangan kasih ruang dan tempat bagi siapapun yang menertawakan. Jika kita hanya membuang waktu dan energi kita hanya untuk bertikai satu sama lain. Harapan saya, kita menggunakan semua potensi yang ada dalam semua komponen dan elemen masyarakat. Tidak harus saya," Tandas Surya Paloh.

Sumber

Maka saran saya kepada wartawan, mulailah memboikot pemberitaan terhadap Prabowo kalau kenyataannya ia tak sanggup menghormati dunia jurnalisme. Jika diundang press conference atau diundang dalam acara Prabowo yang membutuhkan publisitas, tidak perlu datang. Tidaklah pantas wartawan terus menerus merendahkan diri, memohon wawancara hanya untuk kemudian dilecehkan seperti yang sudah ia lakukan terhadap wartawan Jakarta Post dan Metro TV.

Prabowo sudah saatnya diboikot, bukan hanya oleh Metro TV dan Jakarta Post. Tapi juga oleh semua wartawan, agar Prabowo mengerti arti penting profesi jurnalis. Tidak lagi menertawakan gaji mereka yang kecil, tidak sanggup belanja ke mal, atau melecehkan mereka hanya sebagai "pekerja". 

Wartawan adalah profesi yang mengandalkan intelektualitas. Mereka punya independensi dan sikap yang logis dan objektif dalam Pilpres ini. Tidaklah pantas wartawan dianggap sebagai pesuruh alias buruhnya pemilik media saja.. Jika benar demikian Prabowo menganggap wartawan benar seperti itu lalu mendapat kesempatan berkuasa, tentu ini adalah ancaman besar bagi profesi wartawan..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun