Mohon tunggu...
Hariadhi
Hariadhi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer

Ghostwriter, sudah membuat 5 buku berbagai Dirut BUMN dan Agency Multinasional, dua di antaranya best seller. Gaya penulisan berdialog, tak sekedar bernarasi. Traveler yang sudah mengunjungi 23 dari 34 provinsi se Indonesia. Business inquiry? WA 081808514599

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Yang Muda yang Unjuk Suara

24 September 2019   21:54 Diperbarui: 25 September 2019   07:50 2009
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ribuan mahasiswa mengikuti aksi #GejayanMemanggil di Simpang Tiga Colombo, Gejayan, Sleman, DI Yogyakarta, Senin (23/9/2019). Dalam aksi demonstrasi yang diikuti oleh ribuan mahasiswa dari berbagai universitas di Yogyakarta itu, mereka menolak segala bentuk pelemahan terhadap upaya pemberantasan korupsi serta mendesak pemerintah dan DPR mencabut UU KPK yang sudah disahkan.(ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko)

"Mas ga tertarik tanggapi? Di twitter udah trending nama Mas Bud tuh!" tanya saya ke Mas Budiman Sudjatmiko. "Ga usahlah." Jawab Mas Budiman. Banyak cibiran yang muncul di medsos hari ini ternyata diabaikan saja. 

Mas Bud memang orang yang terbuka terhadap saran dan kritik, saya sendiri sudah mencoba membuktikannya sehari-hari dalam pertemanan. Walaupun juga kami sering tidak sepakat dengan banyak hal.

Kalau dia bilang, saya ini rada-rada ke kanan agak relijius, sementara semua orang tahu sedari dulu kalau dia dari kalangan progresif. Tapi itu tidak menghalangi kami untuk bertukar pikiran soal banyak hal. 

Bicara keterbukaan, reaksi Budiman Sudjatmiko bisa dibandingkan dengan Fahri Hamzah hari ini yang terlihat begitu meradang dengan aksi mahasiswa. Justru ia terlihat mendukung saat saya mengangkat beberapa poster demonstrasi lucu, memention dirinya. 

"Didemo dengan poster-poster lucu adalah disindir teman seiring. Ini seperti seorang suami yang saat pulang kantor, istrinya kemudian menaruh lipstik di depan suaminya sambil bilang, 'Mas, kok warna lipstik di kerahmu lebih ngejreng dari warna lipstik ini ya?'"

kolase dari screenshot media sosial. dibuat sendiri dengan ukuran rendah untuk informasi
kolase dari screenshot media sosial. dibuat sendiri dengan ukuran rendah untuk informasi
Keruan saja komentar lucunya memberikan saya ribuan retweet dan like hingga sepanjang hari. Saya bisa menebak alasannya, mahasiswa mana yang tidak merasa tersanjung pendapatnya dihargai sedemikian rupa oleh seorang legenda reformasi, dan menerimanya sebagai sebuah kritik yang baik, tanpa merasa terserang?


Tapi mari lupakan Mas Budiman Sudjatmiko sejenak. Anggap saja dia bagian dari masa lalu perjuangan reformasi kita. Yang mau saya bahas tentunya anak-anak revolusi masa kini.

Mereka yang menghidupkan perbincangan di media sosial. Yang selalu kita lecehkan dengan anak-anak muda yang cuma tahu K-Pop, hobinya rebahan, hobi berburu giveaway, dan pose-pose alaynya menghiasi timeline kita setiap hari. 

Tapi suka atau tidak, seperti saya ungkapkan di setiap pelatihan media sosial, merekalah masa depan kita!

Mereka yang kelak akan menjadi pemimpin-pemimpin di berbagai perusahaan ternama, jadi politikus yang membuat kebijakan, bahkan salah satunya mungkin sekali akan menjadi gubernur atau presiden kita. Atau paling buruk, akan menjadi teman sekantor kita, mengajak kita berbicara politik dari sebelah meja kita. 

Secara pribadi, saya tidak melihat banyak masalah dari berbagai RUU yang hendak disahkan oleh DPR. Bagi saya, banyak keributan saat ini lebih disebabkan karena sosialisasi yang kurang akibat target pengesahan yang terburu-buru.

Baru pada masa akhir jabatan DPR 2014-2019, revisi RUU KPK, RKUHP, RUU Pengusaan Lahan, dan sebagainya, dibeberkan kepada masyarakat. Padahal sejatinya, setiap rumusan pasal harusnya melibatkan peran serta masyarakat sedari awal.

Mereka yang berpengalaman dalam perkara pidana, harusnya diundang saat pembahasan. 

Karena kurangnya sosialisasi, saya kira, maka tiba-tiba pasal-pasal kontroversial tersebut dipotong-potong, ditambah-tambahi, dan diterjemahkan dengan analogi yang seenaknya sendiri.

Lebih buruk lagi, perumusan Undang-Undang yang menjadi wilayah legislator, alias lawmaker, alias pembuat hukum, dipersalahkan kepada eksekutif. Maka timbullah anggapan bahwa pemerintah sedang berniat buruk hendak mencerabut kebebasan dari warga negaranya.

kolase dari screenshot media sosial, dibuat sendiri dengan resolusi rendah untuk informasi
kolase dari screenshot media sosial, dibuat sendiri dengan resolusi rendah untuk informasi
"Nge*thu dibui, koruptor dicuti," demikian pesan salah satu postur yang berhasil membuat saya terbahak-bahak pagi ini. 

Dedek-dedek gemez, demikian kami memanggil generasi KPopers masa kini, mungkin memang belum memahami betul apa itu Trias Politica.

Tapi kalau mereka tidak turun ke jalan, berlatih menyuarakan aspirasi masyarakat, dan akhirnya tercebur ke politik, mungkin selamanya tidak akan belajar betapa penting nilai politik dan kebijakan publik dalam kehidupan kita. 

Bahasa mereka mungkin tidak seserius kita. Karena berbeda dengan saya yang memang mengalami peristiwa 98 saat masih SMP, misalnya, generasi pecinta skinker (pelesetan dari skincare alias perawatan wajah) ini hidup di era digital sejak pertama mereka bisa duduk dan menyentuh layar smartphone.

Sejak pertama bisa membaca, yang mereka baca bukan lagi buku cetak, tapi forum-forum kaskus dan media sosial macam facebook, instagram, dan twitter.  Mereka generasi yang benar-benar total hidup dalam interaksi dua arah, sama sekali terbebas dari komunikasi searah seperti TV dan radio.

Contoh poster demo hasil screenshot dari media sosial. Kolase dibuat sendiri, diizinkan oleh UU hak cipta untuk keperluan informasi dengan resolusi rendah
Contoh poster demo hasil screenshot dari media sosial. Kolase dibuat sendiri, diizinkan oleh UU hak cipta untuk keperluan informasi dengan resolusi rendah
Maka jangan heran, kalau posternya bertuliskan,  "Pap TT bukan urusanmu!" atau "Push Rank terganggu! Mergo DPR dungu!". Warakadah.. Jika tak update dengan percakapan anak-anak masa kini, maka siap-siaplah terbingung-bingung dengan bahasa mereka.

Pap TT adalah kebiasaan anak-anak muda untuk saling memamerkan bagian tubuhnya, mirip kebiasaan generasi kita chat sex via SMS saat muda. Sementara Push Rank adalah istilah bagi anak-anak penggila game PUBG yang merasa hal sepenting itu harus ditinggalkan demi mengikuti demonstrasi maha penting ini. 

Memang ada pula bauran poster-poster dengan pesan nyaris tanpa makna, tak relevan sama sekali dengan tema demonstrasinya, semacam "Rame amat, ga ada yang mau mutualan apa?".

Mutualan berarti saling follow, yang menandakan penulisnya pasti pengguna twitter. Atau "terima kos putri," atau "Jasa Skripsi, hubungi 081783xxx" sebuah tulisan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan hak atas kebebasan.

Tapi bagaimanapun sukses mencairkan suasana, setelah sebelumnya banyak yang mengkhawatirkan demonstrasi ini akan disusupi perusuh yang menginginkan negeri ini mengalami kekosongan kepemimpinan dengan menurunkan presiden tanpa melalui jalur konstitusional yang sah.

sumber: merdeka.com
sumber: merdeka.com
Dan yang terpenting, demonstrasi berlangsung tertib, setidaknya hingga magrib menjelang, walau ada satu dua kasus pelemparan batu dan mahasiswa terluka akibat bentrokan. Lain hal kalau ada kerusuhan, tentu kita menentang aksi anarkis. 

Ya, sayup-sayup disela teriakan mahasiswa yang sudah jengah atas pengekangan, terselip pula barisan heartbreak, patah hati akibat jagoan mereka di Pemilu 2019 lalu luluh lantak.

Setelah sebelumnya berkoar-koar dengan tagar #2019GantiPresiden sambil membiarkan kaum yang hobi mengobarkan bendera hitam berisikan kalimat tauhid ikut menunggangi, sekarang mereka ingin kembali menggoyang agar pelantikan periode kedua Joko Widodo tidak terlaksana. 

Di luar itu, masih ada lagi barisan Social Justice Warrior, atau kalau sesama teman saya suka menertawakan sebagai kiri cebok, julukan untuk orang-orang yang hanya meneriakkan kebebasan tanpa mau tahu akibatnya kalau kebablasan.

Mereka sibuk berteriak-teriak bahwa demonstrasi ini telah dilawan dengan represi, bahwa Jokowi anti kritik, dan mengancam pula dengan potensi kerusuhan yang terekskalasi menjadi semacam kerusuhan 1998.

Untuk satu ini, saya coba menenangkan kepada teman-teman, "Jangan khawatir, untuk orang-orang kiri cebok ini, jauh lebih mengerikan kalau Jokowi harus turun, dan sebagai konsekuensinya secara konstitusi, wakilnya yang menggantikan," Sambil tertawa-tawa.

Ya, kalau tidak bulan ini, maka bulan depan wakil presidennya sudah ganti jadi Kyai Maruf Amin. Saya sendiri tidak bermasalah dengan sosok ini.

Tapi bagi para barisan kiri, bahkan yang ekstrim kiri, naiknya KMA yang sebelumnya menjadi Ketua MUI, jadi orang nomor satu di negeri ini, tentu akan membuat mereka histeris dan tak ingin lagi hidup di dunia ini. 

Maka kalau para SJW dan kiri cebok ikut-ikutan menyuarakan tuntutan Jokowi harus turun, tentu adalah sebuah lelucon.

Terbukti, gerakan yang kemarin dimulai dengan hashtag #GejayanMemanggil dan berlanjut keesokan harinya dengan tagar #HidupMahasiswa ini kemudian membantah mati-matian kalau aksi mereka bertujuan menurunkan presiden.

Barisan patah hati yang sibuk menuntut #TurunkanJokowi, disangkal sebagai bagian dari aksi, malah dicap sebagai penunggang. 

Mesin analisa Drone Emprit, melalui Ismail Fahmi, yang biasanya analisanya sering diprotes cebongers pun mengkonfirmasi upaya penunggangan ini. "Tagar #TurunkanJokowi ternyata bukan bagian dari mereka yang mengangkat #GejayanMemanggil. Seperti buatan oposisi," tulisnya setelah membaca hasil analisis perangkat lunak tersebut.

Dan sungguh walaupun saya banyak tidak setuju dengan aspirasi mahasiswa saat ini, saya mati-matian mengatakan kepada pendukung Jokowi, yang sering distempel buzzer seenaknya, bahwa aspirasi dan demonstrasi mahasiswa harus dihargai.

"I may disapprove of what you say, but I will defend to the death your right to say it!" kata sebuah ungkapan lama yang saya kutip kembali. Kita tidak harus menyindir-nyindir bahkan menyinyiri aksi ini. 

Bahwa ada pula yang menyerang aksi ini tidak secanggih aksi 1998 yang berhasil menurunkan rezim sampai harus dipenjara bahkan hilang dan terenggut kehidupannya, saya bertanya, "Buat apa? Mahasiswa tidak harus jadi aktivis 98 untuk ambil bagian. Tidak harus meniru mereka. Ga harus ikut-ikutan jadi serius dan berdarah-darah. Sebab sekarang memang bukan masanya untuk berdarah-darah.."

Karena kita memang sudah memasuki masa demokrasi, di mana orang tidak harus "disekolahkan" hanya karena ia memiliki pendapat berbeda atau menentang rezim. Dengan kita membiarkan mahasiswa berdemo sampai mereka cape dan bubar sendiri, maka terbuktilah kalau inisuasi para SJW bahwa Jokowi itu diktator keliru. 

Beres kan?

Kokok Dirgantoro nan lucu. Dari Situs Whiteboard Journal
Kokok Dirgantoro nan lucu. Dari Situs Whiteboard Journal
Atau mari kita renungkan pula pendapat Mas Kokok Dirgantoro, yang juga menjadi bagian dari aktivis pers mahasiswa yang kini diisukan akan maju jadi Cawalkot Tangsel (tapi sayangnya tak kunjung deklarasi)...

"SAYA DULU JUGA DEMONSTRAN!!! TAPI AKSI HARI INI BERBEDA DGN ZAMAN SAYA DULU. KAMI AKSI MURNI DAN BLA... BLA... BLA... mundur bos. Wis wayahe ngombe obat kolesterol, darah tinggi, asam urat. Biarlah generasi hari ini menorehkan tinta sejarahnya."

Saya kagum, Mas Kokok selalu sukses menyampaikan pendapatnya dengan bernas, tanpa kehilangan kelucuannya. Saya rasa kalau nanti sukses jadi pemimpin, dia akan mirip presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, yang mantan pelawak itu. 

Seperti juga kita tidak perlu meributkan apakah saat ini Adian Napitupulu, Fahri Hamzah, Fadli Zon, Andi Arief, Budiman Sudjatmiko, atau siapapun yang menjadi aktivis pada era 90-an masih aktif menyuarakan kebebasan atau tidak, seperti itu pula kita tidak perlu menganggap perjuangan anak-anak muda KPopers saat ini sebagai aksi receh. Karena recehan itulah bagian dari kehidupan mereka. 

Atau seperti kata salah satu poster, "Indonesia gawat darurat, sampe KPopers ikut dalam aksi!"

Jangan bicara soal runtuhnya moral
Mari bicara tentang harga diri 
yang tak ada arti
Atau tentang tanggung jawab
Yang kini dianggap sepi

Demikian lirih Iwan Fals, tahun 1984 waktu masih garang melawan represi Soeharto kepada seniman

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun