Duh Toba bikin Tobaaat...
Berkali-kali saya tegaskan, bahwa saya bukannya mendukung pembangunan Toba sebagai Kawasan Wisata Halal. Tidak pula saya meminta supaya lapo babi dan BPK dimusnahkan dari Toba. Tentu saja itu ide konyol dan tidak menghargai kearifan lokal. "Coba buktikan mana dari tweet saya yang menyatakan babi harus dihapuskan dari Toba," Demikian tantangan saya berkali-kali. Setiap kali disebutkan begitu, lalu penyerang saya terdiam lama, lalu menghilang, dan besoknya datang lagi dengan caci maki dan tuduhan yang sama.
Sungguh disuksi yang tidak berisi, tidak asik!
Ada yang bertanya, kalau cuma cari makanan halal, kan rumah makan minang banyak? Atau bawa aja popmie, siram pakai air, sudah makan makanan halal juga kan?
"Lah ya masak jauh-jauh ke Toba makannya nasi padang?" Terus terang saya agak kesal menjawab pertanyaan seperti ini. Membangun sebuah kompleks wisata (tidak harus dengan tema halal ya), tentu harus memikirkan kesatuan. Apa indahnya jika saya mencatat pengalaman saya menikmati sunset di Danau Toba dengan makanan mie instant? Akan lebih indah jika pemandangannya Toba, orang-orangnya berbudaya Toba, oleh-olehnya Toba, makanannya yang dicicipi pun dari Toba...
Maka, turis muslim pun rasanya berhak untuk mendapatkan experience lengkap seperti ini dari kunjungan mereka ke Danau Toba. Walaupun mereka tidak bisa menikmati sepenuhnya hingga ke masakan babi, anjing, dan darah karena masalah iman, Â namun banyak cara untuk memperkenalkan kekayaan kuliner Batak dan Karo, untuk mereka bawa pulang dan ceritakan kepada keluarganya di rumah nanti.
Itulah mengapa yang saya usulkan adalah Pusat dan Jaringan Informasi Makanan Halal, sama sekali berbeda dengan ide Kawasan Wisata Halal. Tak perlu pelabelan, tidak perlu standarisasi ini itu. Cukup keterangan lengkap cara mencari makanan apa ada di mana dan bahan-bahannya apa.