"Serius, Pak. Kalau ada lowongan buat anak desain, saya mau deh kerja di sini," kata saya tertawa-tawa di tengah mobil yang membawa kami berkeliling Kompleks industri Morowali, sore hari tanggal 21 Februari 2019 itu. "Yakin kamu, tahan hidup di sini? Hahaha." Kata Pak Dedi. Tentu saja dia bercanda. Morowali sangat indah dan bikin kangen. Hanya saja agak sepi dibanding keriuhan Jakarta.
Ya, Morowali sebenarnya spot kecil di Sulawesi. Sebelum industri pengolahan nikel dibangun di sini, menurut orang-orang sekitar jumlah penduduk aslinya hanya di angka ribuan.Â
Setelah dibangun, yang mengisinya ya para pekerja yang pulang pergi nine to five (di beberapa divisi yang bekerja non stop, dibagi 3 shift). Yang tak cukup tabah dan ingin berjuang memperbaiki nasibnya, jelas tidak akan bertahan di kawasan nan hening, kecuali bunyi pabrik dan mobil truk pengangkut material hasil tambang.
"Di sini memang seperti itu. Mereka kerja diberi makan full. Tinggal pun di kostan murah di sekitar. Sehingga punya cukup uang untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya." Jelas salah seorang pemandu kami.
Memang Gaji Basic nya paling 2-3 juta sekian. Tapi karena kesibukan, kadang overtime, tambah tunjangan, bisa banyak sekali bawa pulang duitnya." Gaji itu kemudian mengalir, berputar, dan menghidupi denyut nadi Morowali yang awalnya terpencil kini mulai maju. Warung-warung kini mulai berdiri di sekitar pabrik.
Gaji itulah yang menjadi sebab kenapa ada demonstrasi di Morowali yang kemudian menjadi awal merebaknya isu demo Tenaga Kerja China.Â
"Padahal yang kami protes itu soal kenaikan Upah Minimum Sektoral Kabupaten," katanya. Kebetulan saat demo ada TKA lewat, terekam kamera, lalu ditambah-tambahi oleh keisengan IDN, seorang bujang lapuk kurang kerjaan dari Bogor yang saat ini sudah diciduk Bareskrim. Ia iseng menambah-nambahi komentar mengenai TKA china, utang, dan nasib warga Ughyur yang entah apa hubungannya.Â