Dari kecil, sejak ada tugas membuat kliping resep makanan, aku rajin mengoleksi resep. Saat itu, koran-koran akan menyelipkan halaman resep makanan.
Berlanjut, seiring usia menjadi kebiasaan membeli tabloid khusus berkaitan masak-memasak. Dari aneka minuman, jajanan, bento, kue, olahan daging, beragam jenis nasi goreng, sea food, hingga makanan tradisional ada dalam kliping.
Namun, jangan bayangkan kemampuan memasakku sudah ala master chef. Bahkan, dibanding ibuku saja masih jauh dibawahnya.
Setiap melihat hasil masakan dari sebuah resep pasti rasanya menggebu-gebu ingin mencoba memasaknya. Namun, begitu melihat bahan-bahan yang digunakan harus belanja dulu apalagi jika tidak mengetahui itu apa, langsung mundur teratur. Saat membaca cara memasaknya, bisa ditebak segera angkat tangan alias menyerah.
Ternyata aku orang yang suka simpel dan praktis.
Memasak Adalah Seni
Bukan berarti sama sekali aku tak mencoba satu pun resep. Yang paling membuat aku tidak mau mencoba memasak resep baru adalah takut tidak enak. Aku belum sepercaya diri itu.
Namun, momentum itu akhirnya tiba ketika aku sudah menikah dan sampai di bulan Ramadhan. Awalnya, karena malas mencari makanan saat sahur di pagi-pagi buta akhirnya aku berinisiatif memasak dengan menambah varian masakan tidak hanya itu-itu saja.
Akhirnya merembet untuk menu berbuka puasa. Terlebih ketika sudah memiliki anak-anak. Walaupun dalam mencoba resep baru masih menyaring dengan bahan yang mudah didapat dan cara mengolah yang gampang.
Mulanya karena terpaksa. Dan, penyakit tidak percaya diri dengan hasil masakan sendiri itu masih ada.
Sampai akhirnya, aku mengenal ungkapan "memasak adalah seni". Aku lupa tepatnya membaca dimana atau mendengar dari siapa, namun kalimat itu mengubah perspektifku tentang memasak, makanan enak, dan tidak enak yang bagaimana.