Kematian diplomat muda Arya Daru mengguncang kesadaran kita semua. Usianya baru 39 tahun, kariernya baru menanjak, lalu tiba-tiba kabar itu datang: ia ditemukan tewas di sebuah kamar kos sederhana. Tidak butuh waktu lama sebelum rumor mengambil alih ruang publik. Teori-teori liar berseliweran, dari dugaan pembunuhan politik sampai kecelakaan misterius. Dalam sekejap, semua orang menjadi detektif dadakan, semua merasa tahu penyebab kematian bahkan sebelum hasil resmi keluar.
Namun di tengah kebisingan itu, satu hal sering kita lupakan: polisi bukan dewa. Mereka tidak bisa memutuskan sesuatu hanya karena tekanan opini publik. Mereka bekerja dengan bukti, dengan prosedur hukum, dengan sains yang tidak selalu bisa memuaskan rasa penasaran kita secepat media sosial bergerak. Kita mungkin marah, kita mungkin frustrasi, tetapi keadilan bukan diukur dari cepatnya kabar beredar, melainkan dari ketepatan fakta yang ditemukan.
Seperti kata Agatha Christie dalam Death on the Nile:
"It is always the facts that will not fit in that are significant."
Ilmu forensik yang digunakan dalam kasus ini bukan sekadar memeriksa luka atau memastikan jam kematian. Ini soal membaca setiap tanda kecil yang mungkin terlewat oleh mata awam: tekanan lakban di wajah, pola asfiksia, residu kimia di kuku, bahkan jejak digital yang tersimpan di laptop dan ponsel korban.
Semua itu diperiksa berlapis oleh puslabfor dan dokter forensik. Satu kesimpulan bisa lahir hanya setelah semua hipotesis disaring dan diuji silang. Proses ini panjang, melelahkan, tetapi tak ada jalan pintas untuk menemukan kebenaran.
Di sisi lain, publik menginginkan kepastian. Wajar. Kematian seorang diplomat bukan hanya tragedi pribadi, tapi juga menyentuh martabat negara. Namun ketika polisi bekerja senyap di laboratorium, ruang kosong komunikasi sering diisi rumor. Dan di titik inilah peran Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menjadi krusial.
Ia belum bicara apa-apa. Mungkin menunggu momen tepat ketika data sudah lengkap. Tetapi publik butuh kehadirannya. Bukan sekadar pernyataan teknis, tetapi simbol bahwa Polri memegang kendali dan siap mempertanggungjawabkan proses penyelidikan ini di hadapan bangsa.
Pekerjaan polisi memang sulit. Mereka ada di persimpangan antara tuntutan publik yang ingin jawaban instan dan prosedur hukum yang menuntut kehati-hatian ekstrem. Jika mereka terburu-buru menyebut "pembunuhan" tanpa bukti, negara bisa dipermalukan di pengadilan.
Jika mereka menyebut "tidak ada unsur pidana" tanpa kesiapan publik, mereka dihajar habis-habisan di media sosial. Posisi yang serba salah ini jarang dipahami, padahal inilah keseharian aparat penegak hukum: bekerja dalam senyap, ditekan dari segala arah, dan tetap dituntut sempurna.
Kematian Arya Daru bukan kematian biasa. Ia meninggalkan pertanyaan yang lebih besar daripada sekadar "apa penyebabnya". Pertanyaan itu kini mengarah pada Polri: sejauh mana negara mampu menunjukkan bahwa keadilan masih hidup, bahkan ketika kebenaran terasa pahit?